Ditulis OLeh : FRA atau dengan nama palsu Fadhlur RahmanAhsa, lahir pada 8 November 1986, di Palangki. Sekarang bergiat dan penggerak Komunitas Sahabat Pituluik, Dewan Rumpun Sastrawan Lansek Manih, dan Juga menjadi Anggota Forum Aisiteru Menululis Indonesia (FAM Indonesia) Periode 2014.
Sebuah
kabar nan bertebaran dari lembah tentang gering waktu yang tak memenggal kelalaian menjadi
keseriusan, malah buah bibir untuk disesali. Maka saling berkabarlah anak
manusia mengenai kabar gerang dan kehilangan asa. Berita yang menggemparkan
dinegeri kami menjadi-jadi, lahir, hadir, mati dan hilang adalah bilangan genap
yang tanpa pilihan. Dia bukan sesuatu yang ganjil. Bilangan itu saling
menggenapkan.
Merecup
dan menajuk tetang asmara kehidupan, begitupula ihwal kematian. Dia memeberikan
ruang tanpa ganjilnya pada generasi perunduk untuk menjadi tunduk. Disitulah
terjadinya persalianan peran diatas panggung yang selama ini mereka kuasai. Tak
ada penyegaran tentang pengakuan
mengenal Haq dan bathil, dan timbulnya penumpukan opini, gila memang
sesaat, tapi sakitnya berulang ulang.
Fase-fase
kesesatan menjadi suksesi ganti-mengganti, namun pengakuan sosial hanya sebatas
hina dina. Keberanian moral terbungkam pada kesesatan kekuasaan semata, segala
hamun dilemparkan begitu saja kepada perisa kumuh tak berarti. Sesungguhnya kita
tak siap duduk dibelakang panggung, saban hari, pengusa diatas panggung hanya
alat untuk mengukur panjang pendeknya jalan, tak mengira jalan itu bergelombang
atau serakan kerikil bak kabar petakut yang selalu jadi ancaman para pejalan
ditengah jalan.
Begitulah
kisah demi kisah yang melanda sumur mata air rakyat jelata, selalu memlilit
tiap akar rumput yang hidup dilingkaran suur mata air itu, jangan sampai sumur
yang ada kering kerontang oleh kepalsuan semata. Dari sini timbul derivasi
tindakan manusia: sejujurnya di negeri
bertuah ini tak ada tempat bersandar, dan peluang untuk orang yang baik. Kaidah
birokrasi menganggkat delema kehidupan bertele-tele, yang ujung ujungnya
mengemis kembali. Tambah dari ihwal lembaga-lembaga yang kononnya, penjaga dan
pengawal nilai-nilai leluhur sebagai penjaga adat nan kawi dari tiang negeri, tak sedikit
anggapan menjadi pilunya alkisah dan raut semberaut negeri ini ketika untuk
memilih.
Merujuklah
pada masa semua anak orang untuk memilih, tak satupun bersua nak mejalin kasih,
malah saling sakit menyakiti. Dendam birahi menjajaki, macam tak akan jumpa
lagi. Musim ini hanya segmentasi belaka, bukan tolak ukur bagaimana susunan
rumah tangga menjadi tempat untuk pertumbuh dalam kurun amat sangat singkat dan
singkat. Namun kita tidak bisa kabur, lari dan menghilang beitu saja, sewaktu
rumah itu akan disusun ditata lagi.
Disini,
pada detik ini , dan di tempat ini,
semua orang menumpahkan watak dasar walau kasar, semua yang ada,
menjelma bagai riang gembira, dari kasat mata rumah itu tidak berpenghuni,
malah kita masih bersigau hendak mentabalkan diri selaku pewaris tunggal negeri
ini. Walhasil kerja serabutan harga diri tak bisa kembali “moral” dan
“kesejahteran” hanya untuk mereka pribadi. Rumah mana yang kita tempati? itulah parameter kenapa ? karena kita tak
pernah belajar untuk kalah, untuk mengalah selangkah mungkin saja. Disinilah,
diwaktu ini pula rumah itu bisa kita benahi dengan kunci gontoroyong atau asa
kebersamaan dengan melilit pada adat nan kawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar