Minggu, 08 Maret 2015

SEBUAH KABAR PERISA dari LEMBAH*



 
Ditulis OLeh : FRA atau dengan nama palsu Fadhlur RahmanAhsa, lahir pada 8 November 1986, di Palangki. Sekarang bergiat dan penggerak Komunitas Sahabat Pituluik,  Dewan Rumpun Sastrawan Lansek Manih, dan Juga menjadi Anggota  Forum Aisiteru Menululis Indonesia (FAM Indonesia) Periode 2014.



Sebuah kabar nan bertebaran dari lembah tentang gering waktu yang tak memenggal kelalaian menjadi keseriusan, malah buah bibir untuk disesali. Maka saling berkabarlah anak manusia mengenai kabar gerang dan kehilangan asa. Berita yang menggemparkan dinegeri kami menjadi-jadi, lahir, hadir, mati dan hilang adalah bilangan genap yang tanpa pilihan. Dia bukan sesuatu yang ganjil. Bilangan itu saling menggenapkan.
Merecup dan menajuk tetang asmara kehidupan, begitupula ihwal kematian. Dia memeberikan ruang tanpa ganjilnya pada generasi perunduk untuk menjadi tunduk. Disitulah terjadinya persalianan peran diatas panggung yang selama ini mereka kuasai. Tak ada penyegaran tentang pengakuan  mengenal Haq dan bathil, dan timbulnya penumpukan opini, gila memang sesaat, tapi sakitnya berulang ulang.
Fase-fase kesesatan menjadi suksesi ganti-mengganti, namun pengakuan sosial hanya sebatas hina dina. Keberanian moral terbungkam pada kesesatan kekuasaan semata, segala hamun dilemparkan begitu saja kepada perisa kumuh tak berarti. Sesungguhnya kita tak siap duduk dibelakang panggung, saban hari, pengusa diatas panggung hanya alat untuk mengukur panjang pendeknya jalan, tak mengira jalan itu bergelombang atau serakan kerikil bak kabar petakut yang selalu jadi ancaman para pejalan ditengah jalan.
Begitulah kisah demi kisah yang melanda sumur mata air rakyat jelata, selalu memlilit tiap akar rumput yang hidup dilingkaran suur mata air itu, jangan sampai sumur yang ada kering kerontang oleh kepalsuan semata. Dari sini timbul derivasi tindakan manusia: sejujurnya  di negeri bertuah ini tak ada tempat bersandar, dan peluang untuk orang yang baik. Kaidah birokrasi menganggkat delema kehidupan bertele-tele, yang ujung ujungnya mengemis kembali. Tambah dari ihwal lembaga-lembaga yang kononnya, penjaga dan pengawal nilai-nilai leluhur sebagai penjaga adat  nan kawi dari tiang negeri, tak sedikit anggapan menjadi pilunya alkisah dan raut semberaut negeri ini ketika untuk memilih.
Merujuklah pada masa semua anak orang untuk memilih, tak satupun bersua nak mejalin kasih, malah saling sakit menyakiti. Dendam birahi menjajaki, macam tak akan jumpa lagi. Musim ini hanya segmentasi belaka, bukan tolak ukur bagaimana susunan rumah tangga menjadi tempat untuk pertumbuh dalam kurun amat sangat singkat dan singkat. Namun kita tidak bisa kabur, lari dan menghilang beitu saja, sewaktu rumah itu akan disusun ditata lagi.
Disini, pada detik ini , dan di tempat ini,  semua orang menumpahkan watak dasar walau kasar, semua yang ada, menjelma bagai riang gembira, dari kasat mata rumah itu tidak berpenghuni, malah kita masih bersigau hendak mentabalkan diri selaku pewaris tunggal negeri ini. Walhasil kerja serabutan harga diri tak bisa kembali “moral” dan “kesejahteran” hanya untuk mereka pribadi. Rumah mana yang kita tempati?  itulah parameter kenapa ? karena kita tak pernah belajar untuk kalah, untuk mengalah selangkah mungkin saja. Disinilah, diwaktu ini pula rumah itu bisa kita benahi dengan kunci gontoroyong atau asa kebersamaan dengan melilit pada adat nan kawi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar