FRA |
Tragedi Lansek Manih bermula dengan
kekhawatiran masyarakat dengan kultur budaya dan perkembangan pembangunan di
ranah Lansek Manih yang sangat miris dengan kemunduran dan keterbelakangan.
Bukan saja dari aspek itu, bahkan aspek kepemimpin tidak bisa membela rakyat
dan anggotanya dari curamnya jurang dan derasnya gelombang hingga hari ini
banyak korban dari kesalahan dan kebodohan kita semua.
Kemudian penulis mencoba menalaah
rekam jejak dari masa kemasa perjalanan ranah ini, hingga penafsiran lagu
minang era tahun 50-an yang diciptaan Nuskan Syarif lalu dipopulerkan oleh Elly
Kasim, yang sering didendangkan banyak penyanyi asal Sumatera Barat. Lagu
tersebut awalnya menceritakan kelokkan suatu daerah di Minangkabau yang teradministrasi
sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat yakni Kabupaten
Sijunjung, sebelum pemekaran bernama Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung.
Lagu tersebut hingga saat ini masih
terdengar indah dilantunkan, sampai menjadi ringtone favorit oleh masyarakat
Sijunjung di telpon genggamnya. Bila dimaknai, memang lagu tersebut
menggambarkan Kabupaten Sijunjung dengan ikon daerahnya buah lansek sejenis
duku. Hingga lagu tersebut menjadi pameo bahwa Sijunjung kaya akan lansek dan
atau lanseknya memang terkenal manis sehingga dijuluki Ranah Lansek Manih.
Sebagian
anggapan dan pertanyaan yang jelas, yang sempat dipertanyakan khalayak ramai.
Bahwa Sijunjung lansek manih, namun jangankan manisnya buah lansek, menemuinya
saja sangat sulit di Kabupaten Sijunjung sendiri. “Meskipun masih
banyak lahan-hutannya, saya sempat terpikir juga, " kok ga ada ditemukan
pohon lanseknya ya" dikutip dari blogspot De Journal Nimiasasti yang
berjudul Sehari di Nagari Lansek Manih.
Begitupun
di media cetak menuliskan pertanyaan tentang hal yang sama, beberapa pertanyaan
dan dugaan yang muncul dari buah lansek. “Apakah Kabupaten Sijunjung dinamai Ranah
Lansek Manih karena buah lansek nan manis tersebut begitu banyak di Kabupaten
Sijunjung. Atau hanya sebuah legenda yang mengisyaratkan dan menggambarkan
bahwa, dulu pernah ada kejadian yang membuat lansek menjadi terkenal hingga
dijadikan ikon daerah Kabupaten Sijunjung” Red: Haluan 20/2/13
Sugesti Negatif
Nah,
inilah asas penulis menjadikan tulisan ini dengan judul Tagedi Lansek Manih,
sebab dari semua rekam jejak atas nama lansek manih selalu menjadi pertanyaan
dan mempersoalkan nama dan lagu tersebut. Alhasil lagu Lansek Manih yang
sekarang menjadi kebanggaan orang nomor satu di Kabupaten Sijunjung telah
menjadi polemik. Kenapa? Banyak alasan untuk membuat kita mempersoallakan lirik
dari lagu itu. Diatas sangat jelas apa yang dipersoaallakan oleh masyarakat
Sijunjung sendiri.
Sugesti
negatif pun lahir dari pemikiran masyarakat kabupaten Sijunjung dengan lirik
lagu lansek manih tersebut. Bahwa didalamnya terdapat makna sebuah kemunduran
pemikiran yang amat terkebelakang, sehingga keberdaan Sijunjung yang sarat
dengan kehancuranpun tergambar pada tafsiran lagu Lansek Manih itu.
Mari
kita renungkan satu persatu dari lirik yang melahirkan Sugesti negarif itu.
Pertama
: Den etong sado nan masak, nan busuak tingga di ambo, Den etong
lansek nan masak, nan busuak tingga di ambo.
Lirik pertama ini saya menafsirkan pada penafsiran yang membawa
masyarakat dalam kelemahan perjuangan pada pembangunan ekonomi dan kultur
budaya. Kenapa ? dari lirik ini mengartikan “saya hitung seluruh yang masak
yang busuk tinggal sama saya” dari rekam sejarah bahwa yang selama ini memimpin
Sijunjung bukan putra daerah, hbingga terbesit dari masyarakat, apapun hebatnya
putra daerah dalam memperjuangkan nagari demi cinta nagari, dan seberapa hebat
putra daerah dalam membangun ekonomi nagari tetap untuk meraka yang telah
menjaual negeri kita.
Kedua : Nan ampek dibalah ampek, nan limo bilangan jari, Iko
bukan sumbarang lansek, Sijunjuang lanseknyo manih
Yang
kedua menafsirkan bahwa, masyarakat
terperana dengan kata manisnya, hingga yang pahit berubah manis atau yang manis
itu tidak akan pernah ada. Mungkin saja lirik ini mengartikan sebuah politikalisasi
supaya masyarakat Sijunjung tetap tersenyum walau kepunahan itu, tidak berani
mengatakan yang benar walaupun itu pahit, hingga kesalahan semakin manis
terasa.
Ketiga : “Iko
tukuak, iko tambah, paragiahnyo perai sajo”
Akhirnya
masyarakat Sijunjung dari masa kemasa, tidak bisa membangun dan mengembangkan
apa yang ada, bahkan kelihatan rekam jejak masyarakat dengan nagari yang penuh
dililit hutang karena ada kata “Iko tukuak dan Iko tambah” yang memberi sugesti
negative terhadap karakter orang orang Sijunjung yang tidak mempunyai
kreatifitas, keinginan untuk berjuang, bahkan penulis menafsirkan ingin enaknya
saja. Pada arti “paragiahnyo perai sajo”
Sementara itu, kita hanya asik dan bangga, kala
lirik ini mempunyai kontradiksi terhadap Sijunjung masa depan, sebab dalam
lirik ini mempunyai seribu tafsiran Sugesti Negatif yang akan berakibat pada
masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan penulis disini nak memberikan
kabar untuk kita semua,bahwa lirik lagu yang membawa kabar perisa atas
mundurnya karakter dan kulutur masyarakat dalam membangun kemandirian dan
keyajayaan, Penulis acap kali menemukan bahwa masyarakat tidak berani dalam
bertindak, dan takut untuk berbicara benar, bah semakin menahun, malah semakin
tiada bak kata yang diucapkan dalam air, mengembul iya terdengar tidak.
Demikianlah, Tragedi antar buah yang manis dan
yang pahit, menjadi pembelajaran dan senantiasa dalam memberiakan kepedulian
terhadap perjuangan ranah Sijunjung ini lebih jaya dan sejahtera. Sebelumnya
ada sebuah pesan yang berbunyi "say the truth even if it may be
bitter", begitulah bunyi pesan sakral yang tersirat dari makna
kalimat itu yang pernah disampaikan Rasulullah Muhammad Saw. Pesan tersebut
barangkali bisa dikaitkan dengan permasalahan yang terjadi di negeri ini yang
melibatkan para pemimpin di negeri ini. namun juga berlaku bagi semua manusia
tanpa terkecuali. Insyallah, Allah meneguhkan kita selalu di atas kebenaran dan
diberi taufik berkata yang benar walau itu pahit. Hanya Allah yang memberi
taufik.