Selasa, 25 Juni 2019

Fadhlur Rahman Ahsas Antara NU dan Keturunan Ke 3 Syech Abdurrahman



Fadhlur Rahman Ahsas adalah seorang pria yang dilahirkan di Nagari Palangki Kecamatan IV Nagari Kabupaten Sijunjung pada 8 November 1986 dari rahim seorang ibu bernama Irhamni Urif dengan didampingi oleh Bapak yang bernama Afdaluddin. Kini pria itu sudah menjadi seorang penulis di beberapa media lokal dan juga nasional

Fadhlur Rahman Ahsas yang berdarahkan Minangkabau bersukukan Malayu bekerja sebagai Jurnalis di Sumatera Barat. Selain itu, ia juga merupakan seorang aktivis dan penggagas literasi di tanah darah kelahiranya Kabupaten Sijunjung.

Berbekal ilmu pengetahuan yang ia miliki dan beberapa buku bacaan yang ia koleksi menjadi alat bantu untuk bahan mengajarkan literasi tersebut. Pria berusia 33 tahun ini memiliki satu orang anak dari pernikahannya dengan seorang aktivis perempuan Mutia Rahmi telah dikaruniai Putra bernama Aruna Dipta Ahsas yang masih berumur 3 tahun.

Dengan kehidupan yang amat sederhana, sebagai jurnalis lokal Sumatera Barat yang tergolong kontroversi dengan tulisannya yang selalu menjaga kode etik jurnalistik dan mengutamakan profeaionalitas. Ia mengarungi bahtera dengan keluarga kecilnya di desa atau nagari yang tergolong jauh dari perkotaan kabupaten Sijunjung nama desa itu memaknai letak geografisnya yakni Nagari Bukit Bual.

Untuk menompang dalam menghidupi keluarganya dan juga cita-citanya terhadap pembangunan bangsa dengan bergiat sebagai penulis dan juga aktivis. Ihwal itu dengan sangat terpaksa untuk mencoba bertani dan juga penyadap getah karet guna membantu penghidupan keluarganya. Sejujurnya dari kecil hingga dewasa ia tak pernah akan mengenali dan memahami hidup bertani ataupun sebagai penyadap, sebab ia bukan terlahir dari keluarga petani. Karena kedua orang tuanya seorang abdi negara, dengan kesibukan orang tuanya sebagai abdi negara, ia tak sempat mengajari untuk bertani dan memancah sawah.

Dia NU Keturunan Ke 3 Syech Abdurahman Ulama Tarekat Nahsabandi

Fadhlur Rahman Ahsas yang bergelar Imam Pangulu dari kaumnya suku Malayu Nagari Palangki memang tergolong kaum bajini alias keluarga Datuak atau urang tuo di kenagarian itu, kalau merunut matriakad ia termasuk pewaris Datuak Panghulu Sutan yakni salah satu pemimpin dari Suku Malayu Nagari Palangki, sementara itu merunut patriakad bapaknya salah satu ninikmamak dari Suku Chaniago dengan jabatan Monti. Sedangkan merunut para pendahulu baik dari keturunan Ibu dan Bapak ia berketurunan dari tokoh peneyebar Islam di ranah Minangkabau dan juga tokoh organisasi Islam di Sumateta Barat yakni Persatuan Tarbiyah Islamiyah

Fadhlur nama singkatnya, hari ini ia berkhidmad di oraganisasi besar Nahdlatul Ulama, hingga memimpin beberapa badan otonom di tingkat Kabupaten Sijunjung. Memang melihat dari pendidikan ia pernah mengeyam ilmu agama di Pondok Pesantren, diiantaranya Darussalam Gontor Ponorogo, Darul Muttakin Rogo Jampi Banyuwangi dan Ponpes Buya Salam Darussalam Dharmasraya.

Secara militansi dan loyalitasnya sebagai organisatoris dengan berpegang teguh ideologi Ahlussunah Waljamaah, mungkin banyak yang mempertanyakannya kenapa ia berkhidmad di oraganisasi Islam terbesar di Indonesia yang memeliki ideologi yang jelas itu.

Walaupun secara biologis orang tua laki-lakinya berkhidmad di oraganisasi Muhammadiyah, dan pernah memimpin cabang oragnisasi tersebut. Nah sedikit bersejarah, bahwa Fadhlur Rahaman Ahsas telah mengimplementasi ilmunya dengan asas ber- pemikiran bebas yang tertanam dengan Motto Pondok Gontor yakni asas Demokrasi, serta dengan penguatan dasar manhajul fikri yaitu "Kun Ibna Zamanika" jadilah kamu dinamasa mu.

Melihat perkembangan zaman, oraganisasi NU sudah tepat dengan perkembangan zaman yang sekarang menjadi tolak ukurnya dalam berkhidmad baik demi agama bangsa dan negara. Apalagi merunut dari para pendahulu, kakek atau orang tua dari ibunya adalah seorang pendidik dari dua masa, dan juga pemipin baik dalam oragnisasi Perti di Sumatera Barat tahun 1965 dan juga Wali Nagari serta Dewan DPRD Kabupaten Sawahlunto Sijunjung tahun 1975. Kakeknya bernama H Bustami Urif Datuak Pangulu Besar yang terkenal dengan ulama tarekat Nahsabandi, kakeknya tersebut memiliki orang tua bernama Syech Abdurrahman yang memiliki istri Hj. Zainab. Tak hayal semasa itu kakek kukuhnya memiliki banyak istri, namun sosok Hj Zainablah yang menjadi ibu kakeknya atau juga bisa disebut olehnya nenek kukuh, sebab nenek kukuh dari keluarga saudagar dan bajini sebab ayahnya seorang Ongku Paloh (Kepala Nagari/Wali Nagari)

H.Bustami Urif Dt Panghulu Besar anak 3 dari 4 bersaudara, diantaranya Siti Romlah, Mokawi Sutan Pangeran, dan Maimunah. Salah seorang saudaranya lahir di kota Mekkah yang diberi nama Mokawi dengan gelar Sutan Pangeran. Menilik kenapa seorang kakaknya Mokawi lahir di Mekah saat itu Syech Abdurahman dengan Hj Zainab berpergian menunaikan ibadah haji yang kesekian kalinya, alasannya tetap dalam beribadah serta belajar dengan sang guru Syekh Ahmad Khatib binSyekh Abdul Latif Khatib

Faktanya, kitab kitab lama yang terkenal dengan sebutan kitab kuning dan juga kitab tafsir yang diantaranya jalalein masih terjejer dirak-rak buku rumah Fadhlur Rahman Ahsas, ihwal itu pula dengan bermodalkan ilmu pondok pesantren serta buku warisan kakek kukuhnya ia bisa mendapatkan prestasi juara 1 Tafsir Alquran Bahasa Arab Tk Kabupaten Sijunjung pada Musabaqoh Tilawatil Quran, hinga berkompetisi membawa daerahnya ke Tingkat Provinsi pada tahun 2005, saat umurnya masih 19 tahun. Yah dibilang masih setingkat Aliyah.

Sementara itu, memang disayangkan di nagari Palangki banyak generasi yang tidak peduli dengan pendahulu, buktinya makam Syech Abdurrahman telah musnah, datar dengan tanah dan hingga kini tempat itu, menjadi tempat orang menambang emas. Katanya makam tersebut berada di Surau Godang Lobuah Nagari Palangki, yang disemayamkan pada tahun 1920 masehi.

Dengan demikian, meihat perkembangan zaman, apalagi di kenagariannya, bisa ditafsirkan hampir tidak peduli dengan mozaik sejarah, hingga pembuktian para pendahulu ulama yang mengislamkan negeri ini telah pudur, hanya meninggalkan satu makam yakni Syech Abdurrauf, yaitu salah satu pendahulunya dari soko Ayahnya keturunan ke 4. Maka melihat keterpurukan itu, Fadhlur Rahman Ahsas dengan tulisanya tetap menjadikan pelajaran serta peringatan, bahwa sejarah adalah mutu manikam para pendahulu harus tetap menyala pada generasi ke gerasi apalagi ini adalah tiang dari keilmuan serta semangat pembangunan peradaban (*)