Serpihan Ombak Dalam
Balada Cinta*
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti kata yang tak
sempat di ucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu... Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana... seperti isyarat yang tak sempat di kirimkan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada...(Sapardi Djoko Damono)
Ruang itu kecil, tapi cukup memenuhi untuk beristirahat dan
menghabiskan separuh hari-hariku menulis
apa yang terfikir dan membaca apa yang inginku baca. Di muka pintu masuk, terbentang
sebuah dipan, disitulah aku sering terbaring
sambil mendengarkan lantunan lagu-lagu yang membawa aku tidur lelap, ini
menggambarkan sebuah deretan warna kesendirian
Aku baru saja menginjak usia 28 tahun. Kata orang aku ini sudah
dewasa, karena mereka melihat dari umurku. Namun, teman-temanku berkata lain aku masih anak-anak, kaena aku belum mempunyai seorang yang
spesial, dan belum bisa menaklukkan seorang wanita untuk menjadi pasangan hidup
akhirnya, bahkan mereka bilang aku ini gag normal. Mengapa harus seorang wanita atau
yang menjadi tolak ukur sebuah kedewasaan, pendapat mereka aku bilang gila dan
tidak sesuai menurut pandanganku. Bukannya, sebuah kedewasaan di ukur dari momentum sikap, dan tindakan dalam memahami semua
lika-liku kehidupan. Hingga semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan opini
gila, yang tak
masuk akal itu.
Hari esok pun tiba, sebuah tugas
penting tentang pendapat gila yang harus aku selesaikan, di sebuah perkantoran
yang berada jauh dari rumah, yaitu kantor temanku yang bernama Arif, karena
permasalahan mulai dari pendapatnya. Tepat pada jam istirahat, kami perjumpa
dan duduk di lobi sambil membicarakan hal itu.
“Arif aku gag tidur semalaman
karena opinimu gentayangan dan bertolak belakang sama aku?”
“Hahahah, kamu pikirin juga ya
Bram”
“Iya lah,, karena aku diledekin
sama teman-teman, karena aku belum dewasa! Lagi pula kamu yang bikin opini
gila!” tatap raut wajahku cemberut pada arif.
“oh gitu toh masalahnya, oke, oke
aku jelasin sama kamu, sebelumnya aku ingin dengar pendapat kamu!”
“baik, opiniku adalah kedewasaan
itu bukan dilihat dari sikap dan tindakan kita dalam menyikapi sesuatu hal,
dengan baik dan bijaksana! Bukan tolak ukur-nya wanita.” Tegasku
“Oke Bram saya setuju dengan
pendapatmu” kata Arif.
Perdebatan sengit di lobi
berkecamuk
“Pendapat Bram masih dibilangin,
Universal, karena kedewasaan ruang lingkupnya luas! Dan lagian kamu terlihat
tidak memahami apa kedewasaan.”
“kedewasaan apa yang tidak aku
pahami” tanyaku kembali.
“Dilihat dari umur kamu telah
menempuh proses puberitas, sekarang kamu akan memulai proses lanjutan, itu yang
pertama” , kedua, Pria harus bisa memahami sesuatu yang halus, dan mengerti
dengan suatu yang lemah, yaitu wanita” ketiga, dengan apa kamu harus mengerti
dan memahaminya?”
“Dengan baca buku Psikologi tentang itu” sautku
“ Bram tak cukup hanya dengan
membaca refernsi dan teori, karena ini masalah perasaan bro! sifatnya bukan
teoritis!”jelas Arif menatap mataku.
Arif menjelaskan semuanya, dengan
memberikan sampel-sampel dalam kehidupan. Aku pun terhanyut dalam penjelasan
Arif. Sebab, aku terlalu mudah memahami kedewasaan itu, akhirnya aku mengaku
salah, hingga kami melanjuti perbincangan sambil makan siang, sekaligus
menutupnya.
***
Sepulang dari kantor Arif, aku
melihat sebuah pengumuman terpajang di
gerbang kantor Pos. Pengumuman itu sebuah
kompetisi karya tulis, dengan tema “Arti Kedewasaan Hidup Dalam Memahami
Cinta”untuk memperingati Hari Kasih Sayang se-Dunia diambil dua orang pemenang.
Dan aku tertekun sejenak sambil menatapi pengumuman itu, yang lebih membuat aku
tertarik yaitu dengan temanya.
“Wah!! pendaftaran paling
terakhir hari ini, mumpung aku di sini daftar sekarang ah! ”, semangatku. Aku
segera mendaftarkan diri, seiring aku mengisi formulir pendaftaran, seorang
perempuan memakai kerudung hijau kearah mejaku, serompak mataku mengiringinya,
berdetak hatiku bicara “ya Allah sungguh anugrah bagiku dapat melihat
kesempurnaan pada makhluk Mu”, lalu ia duduk disamping kursiku, dengan sopan ia
menyapaku dengan sebuah kalimat keselamatan.
“Assalamualaikum, permisi !”
sapanya.
Mendengar sapaannya, hatiku
terasa bagaikan serpihan ombak, laksana dalam kedamaian dan keindahan.
“waalakumussalam” jawabku, tak
kuasa menahan diri untuk mengenalnya, tapi apa lah dayaku , gugup dan malu
melilit ke inginanku, aku dan dia serentak mengumpulkan form pendaftaran,
sampai menimbulkan satu pandangan yang menyatu, dari tatapan mata ke mata
seakan berbicara tentang kehidupan, lalu ia mengakhiri pertemuan ini dengan
sebuah senyuman, dan ia meninggalkanku.
Senyuman kejujuran itu membawa warana
hari-hariku berbeda. Dengan sesuatu yang tidak aku mengerti, dan membuat
keadaanku berubah, biasanya aku terbaring tidur di atas dipan dengan iringan
sebuah lagu. Sekarang, hampir setiap malam hanya wajah dia yang anggun terlilit
hijab menghampiri tidurku.
Minggu yang cerah aku pergi
menuju rumah Arif, mungkin ini saat yang tepat untuk meminta saran kepada Arif,
karena hari Minggu Arif pasti dirumah, pasan ia ada di rumah sedang
membersihkan mobilnya, aku segera menyampirinya.
“Pagi sobat, apa kamu sedang
sibuk?”kataku basa-basi.
“ Tidak lah, untuk temanku ini,
aku sediakan waktu setiap saat!” Sambil memberikan senyuman.
“Yuk bram silahkan duduk, ada apa
yang mengirimmu kesini” tanya Arif
“Begini masalahnya bram,,
sebelumnya kata kau yang dulu itu benar, aku masih anak-anak”ujarku
“oh ya, terima kasih Bram, kalau
begitu!”
Lalu aku menjelaskan semuanya tentang
apa yang terjadi pada diriku sekarang hingga aku sampai di rumahnya. Arif pun
spontan memberikan sebuah saran dan hikayat “ Dalam Al-Syura 42 yang berbunyi :
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan
(pula), dijadikan-Nya kamu berkembang baik dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Yang Maha Mendengar Dan Melihat. “Bram
sudah jelas manusia memiliki kelemahan, keterbatasan, dan kekurangan.
Realitasnya ini adalah fitra dari ciptaan. “lalu bagaimana” ujarku. Arif
melanjutkan penjelasannya, “dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita melakukan
suatu hal memiliki kelemahan, kekurangan, dan keterbatasan, sedangkan disisi
lain manusia berbagai keinginan, kehendak, harapan, tujuan, cita-cita, hasrat,
dan ambisi. “Terus apa yang harus kita lakukan ketika kita menemui kelemahan-
kelemahan itu?” tanyaku sambil teperonga.
Lalu Bram mengambil segelas air, dan
satu bungkus garam beserta satu bungkus gula.
“Kamu tahu jika air di campur dengan
gula akan manis, begitu juga dengan garam, air akan menjadi rasa asin”
“Lalu kelemahan aku dimana ?”
sautku
“kelemehan kita adalah tidak
ingin untuk mencoba, manis dan asinnya kehidupan, sebab, sesuatu yang kita
ketahui prosesnya terjadi, belum tentu benar, karena Sang Kholiq yang Maha
mengetahui. Ibarat Falsafah Arab “ Jarib walahittakun ‘arifan”, cobalah kalau
ingin tahu!” penjelasan Arif padaku.
“oke Sobat, emang kamu yang nomor
satu tentang masalah ini, kalau begitu aku pamit dulu yah, karena ingin mencoba
menegenalinya. Thanks alot brother” sambil memeluk Arif.
“Pesanku terakhir gunakan lah
efek zikrullah. Karena akar semua aspek kehidupan ini adalah ibadah
mengingat-Nya, camkan itu kawan” pungkas Arif.
Hari demi hari, aku lewatkan
dengan menulis dan berzikir, hingga naskah untuk perlombaan pun hampir selesai.
Meski aku dirajuk penasaran dengan wanita itu, tetapi aku tetap optimis akan
perasaanku, layaknya seorang heroisme di dalam peperangan.
Setelah dua minggu dengan renggang
waktu antara pendaftaran dan penegumpulan naskah, aku bertemu dengan perempuan
yang dililiti hijab itu disebuah toko buku dekat pantai, ia sedang mencari buku
bersama teman-temannya. Antara rak-rak buku ia tak lepas dari pandanganku,
kemudian aku mengikuti mereka, samapi mereka keluar dari toko dan berhenti di
jejeran batu pantai untuk menikmati serpihan ombak.
Ketika mereka duduk disana,
barulah aku menyampirinya, dengan rasa tidak ragu, aku memberikan sepingka tulisan di lipatan kertas
. lalu aku menyapanya “Assalamualaikum”.
“Waalaikumussalam”,mmmm...! abang
ini rasanya, pernah bertemu sebelumnya, di mana ya?” mentup mulutnya sambil
berfikir.
“ Iya. Kita bertemu di kantor pos
sewaktu pendaftaran lomba menulis”
“Oh iya... ya, baru aku ingat ni?.
Cerita satu cerita aku mulai,
hingga ia bertanya “ kertas apa ini?”
“Jangan dibuka dulu lipatannya,
nanti aja dibaca di rumah” larangku
Kendatipun aku larang. Namun, ia
tetap membacanya.
Sebingka
tulisan itu berbunyi :
“Bunga, kau menghampiri khayal setiap ufukku
Nahkoda hatiku berlayar hanya wajahmu
Menimbulkan selaksa misteri duniawiku
Bunga dan kau bunga!
Matamu, seperti khafilah berjalan dengan kefakihanya
Senyummu, seperti musafir berjalan dengan kejujuranya
Wahai dikau bunga!
Harapku,surga akan mengalir dalam taman ilmu
Akan kah surga itu ada dalam kepalanmu
Kadangkala siungkan
suara-suara nahwamu
Sungguh aku tak bisa menjawab keindahanmu
Karena kau bukan makhluk yang sempurna
Selimutmu berabu
dalam malamku
Dan aku terasa ditusuk oleh duri durimu
Cukup, sudah merah niat ini untuk tahu namamu
‘Salam dari ku’
tertanda (Bram)”
Angin pantai berhembus setiap kalimat tulisanku, hingga aku gugup bercampur
malu, dan wajahnya terlihat seperti serpihan ombak menyapaku. Lalu aku bertanya
pada diriku sendiri “ apa ini yang disebut dengan balada? ”. Akhirnya ia
membalas dengan senyuman dan mengucapakan terima kasaih” kemudian, ia
menyebutkan namanya padaku.
***
Motor CB Bak Kudo Gumarang
“Brum brum”, bunyi suara motor. Engkolan kaki semangat
menyalakan mesin motor CB,dan suaranya mengisi sudut halaman depan rumah.
Pekikan suara motor CB nak berlari bak kudo Gumarang. Tangan pun menggenggam
gas dalam waktu nan renggang. Tepat pada pukul enam, cuaca diselimuti awan
hitam, alamat hari akan hujan. Niat hati tak kunjung padam, dua sahabat
pun langsung menunggangi motor CB. Mereka itu Junaidi dan Punco. Junai
adalah seorang pemuda yang begelar sarjana muda yang masih sibuk oleh
penganggurannya, dan Punco seorang mahasiswa baru tingkat dua bidang
peternakan. Sebenarnya mereka teman sebaya, tetapi Junai duluan masuk
universitas.
Motor CB pun melaju melawan arah angin. Junai dan Punco mengendarai motor CB
dengan riang dan gembira. Hujanpun turun sangat deras, butiran air membasahi sekujur
tubuh kering mereka. Punco yang duduk berboncengan dibelakang berteriak,
“ Berhenti dulu Punco! cari tempat untuk berteduh yuk”
Junai bersegera mencari tempat berteduh. Seiring jalanan yang
menanjak, motor CB tidak bisa melaju kencang. Di ujung jalan sebelah pohon
besar ada warung kopi. Mereka pun lekas berteduh di warung itu.
“Ondeh.. basah sadualah nyo”.. Acik mengeluh kebasahan dan sekilas pandangan
matanyapun mengarah ke Motor CB. Motor CB yang mengkilat sebelumnya menjadi
kotor, ibarat permata dalam lumpur, yang dibasahi percikan tanah liat mencair
oleh air hujan.
Sambil menunggu hujan reda, Junai memesan kopi hitam, dan menghisap rokok
sebatang. Karena Punco bukan seorang perokok dan minum kopi, dia hanya duduk
termenung menikmati irama lagu air hujan yang memukuli atap seng warung.
Sembari menikmati hujan, Junai memeriksa kantong celananya. Ternyata
semua kantong pun kosong. Kegelisahanpun tercermin dalam raut wajahnya.
“Ada yang ketinggalan Punco, aku kira uang aku dicelana ini, ternyata di kantong
celana yang lain kiranya”, risau Junai menatap mata Punco.
“Gimana Jun.. Uangku hanya seratus ribu, sedangkan perjalanan kita
jauh, dan besok pula kita pulang” jawab Punco dengan kesal.
Hujan masih deras, kalau ditunggu entah kapan berhentinya. Terngiang dalam
pikirannya sebuah pilosopi minang “ mujur tak dapat diraih, malang tak dapat
dihindarkan”
“Tanggung basah basah , jeput aja lah Jun, biar aku tunggu disini’ ujar
Punco memberikan dorongan semangat. Maka timbulah inisiatif untuk menjemputn
uang pulang kerumah meski harus menempuh hujan yang sangat deras bersama
motor CB. Setiba di rumah Junai langsung mengarok kantong celannya yang
tergantung di belakang pintu kamar. Ternyata kantong celana itu hanya berisi
uang 25 ribu.
“Rasanya tak cukup untuk pergi” ibarat jatuh ketiban tangga ujarnya
dalam hati. Rasa ragu-ragu pun bergejolak dalam hatinya. namun ia yakin
perjalanan dengan uang sebanyak itu aman karena Punco mempunyai lebih dari yang
ia miliki.
Junai lekas mengendarai motor CB nya untuk ketempat tadi, karena Punco sudah
lama menunggunya. Raut wajah Punco yang gelisah menyapa Junai, “ Gimana dapat
Jun?.
“Dapat Nco, tapi...” Junai takut untuk beri kabar itu.
“Tapi apa
Jun?Jangan
becanda”, ujar Punco penasaran
“Tapi.. uang yang tertinggal hanya 25 ribu , terus gimana ??” Ucap
Junai dengan kecewa
“ Aman Jun! Itu cukup untuk membeli minyak kita pulang pergi.
Hehehe “ ucap Punco sambil ketawa untuk menghibur kekecewaan Junai.
Hujan pun reda. Mereka membayar jajanan mereka dan bersiap melanjutkan
perjalan dengan motor CB yang mereka kagumi.
“Let’s go brother bukittinggi We Are Coming” ucap mereka dengan gembira
sambil berteriak dengan yel-yelnya.
Di tengah perjalanan dengan selang waktu setengah jam, Punco mendengarkan
suara misterius dari belakang. Di sekitar perjalanan mereka hanya ditemani oleh
pesawangan yang sangat sepi. Namun suara itu menghilangkan rasa ketakutan
mereka, karena suara itu serupa dengan suara kenderaan teman mereka.
Ciri-ciri suara motor itu semakin jelas, jika mendekat tak kuat telinga ini
untuk mendengar, terasa ingin pecah gendang telinga. Suara itu pun semakin
dekat. Acik lekas menoleh ke kaca spion kanannya. Di kaca itu berderet
tiga cahaya lampu bulat mendekati motor mereka. Dengan laju kencang, suara
misterius pun terjawab.
Punco segera mengeluarkan opininya tentang suara familiar itu. “firasat saya
ini motor teman teman kita Jun”
“Siapa nco?” Junai cepat memotong perkataanya
“Dari melihat lampu itu, dan suaranya, sepertinya itu motor Simidun, Kundo
dan Acong. Mereka bertiga adalah teman ngaspal motor CB ( tour pake motor CB)
dan suka dengan benda kuno alias tempo doeloe. Midun itu masih kuliah semester
enam di ibu kota ,berbeda dengan Kundo dan Acong, masih kuliah semester dua di
kabupaten”
“Tit tit”! Sembari klakson mendekati meraka, Punco lekas menoleh kebelakang.
“ Walah kalian bikin kaget aja”
“Kamaa?” Serentak semuanya bertanya
Junai dengan cepat memberikan jawaban.
“Biasa Midun ngaspal tak tentu arah, sebenarnya mau ke Bukittinggi. Mau
kemana yuang* (panggilan untuk pemuda minang)?” tanya Junai balik.
“Aku mau pergi kesana juga. Udah ada janji pergi minggu kemaren sama Kundo
dan Acong” pungkas Midun sambil menoleh ke Acong.
“Yuk ngaspal, mumpung sama tujuan, lets go brada”, Teriak Punco dengan
gembira.
“Yuk!” Ucap teman-teman Punco.
“Bum bum bum” Mereka menambah kecepatan laju kendaraannya. Jalanan pun
ribut oleh kicauan motor CB mereka. Junai merasakan ia seperti raja jalan dan
motornya bak kuda gumarang. Gagah perkasa dan tak ada yang sehebat motornya,
karena disetiap keramaian dalam menulusuri perkampungan di tengah perjalanan,
masyarakat menoleh ke arah mereka. Junai dan teman-temannya menikmati
perjalananya sambil melihat kelap kelip panorama lampu yang asri menemani
mereka .
Dalam kenikmatan dan kegagahan mereka yang sedang melaju kencang bersama
motor CB yang diselimuti dinginnya malam, tak terasa 60 km lagi mereka sampai
di tujuan yaitunya jam gadang,dengan kurun waktu selama satu jam lebih kurang.
“ Sabanta lai kito sampai Brada” ,Teriak Punco ke arah Simidun dan Kundo.
“Pret pere bumm prets sss”. Seling waktu 10 detik Punco berteriak , salah
satu motor mereka ada yang mogok. Ternyata motor Midun rusak dan tak mau
dinyalakan lagi. Semuanya menepi ke bibir jalan, berhenti untuk melihat
apa yang terjadi dengan motor Midun. Mereka terperonga k earah motor Midun, ia
mencoba beberapa kali mengengkol motornya sampai ia muak untuk melakukannya.
Junai dan Punco segera mendekati motor Midun dengan niat hati nak menolongnya.
“Gimana Dun? Biar Junai yang engkol” Ucap Punco dengan semangat.
Wahana pertolongan terlihat jelas. Junai sibuk dengan engkolannya , Punco
pun sibuk untuk mengecek pengapiannya Busi dan Karburator. Sedangkan Acong dan
kundo hanya asik bercengkrama sambil duduk dipendopo dekat tepi jalan itu, tak
sedikitpun terngiang niat nak menolong Midun. Tapi Junai dan Punco tak
menghiraukan mereka berdua .
“Lalu sedang ngapain mereka? tanya Midun kepada Punco, karena kesal
melihat temannya acuh tak acuh dengan keadan motornya yang ditemani malam yang
sunyi lagi gelap, menambah kemarahan Midun, karena Punco dan Junai kelelahan
untuk memperbaiki motornya.
“Biarkan saja Midun, jangan ganggu mereka, mereka akan sadar sendiri”,
tegas Punco.
Dalam renggang waktu 20 menit Punco mendapatkan titik permasalahan motor
itu. Midun pun terasa lega karena motornya akan pulih kembali. Junai pun segera
menghampiri Acong dan Kundo yang sedang sibuk dengan obrolan dan
gunyonannya. Kemudian Junai menegur mereka berdua dengan nada
suara rendah, sambil menawarkan sebungkus rokok.
“Ukhuuk” Junai sambil batuk,
“Boleh gabuang, kayaknya enak betul obrolannya ? “ Tanya Junai sambil
terseyum
“Boleh bang cuman cerita biasa” jawab Acong sambil balas senyuman.
“Jujur sebenarnya kalaian itu sedang apa? Hingga kalian tidak ingin bantu
kami” tegas Junai
Mereka berdua terdiam dan terkejut, sehingga tidak bisa menjawab, hanya
dengan anggukan kepala saja.
Dalam hidup ini, kita mengerti kata rasa dengan perasaan, melihat kawan
sedang bekerja ya dibantu, paling tidak semampu kita,apalagi kita dalam
perjalanan jauh pasti ada kendala. Ibarat pepatah “untung tak dapat di elakkan
mujur tak dapat diraih”. Andaikan kalian yang mengalami kerusakan motor, apa
bisa kalian itu mananggungnya sendiri? Jika bisa itu pun berat dikerjakan.
Suatu pekerjaan atau masalah akan terasa ringan jika kita kerjakan bersama sama
“All for One, One for All”. Sekarang inilah contohnya, di dalam sebuah
perjalanan kita ini harus ditanamkan prinsip orang Minang “kok barek samo
dipiku kok ringan samo dijinjiang” jika berat sama dipikul , jika ringan sama
dijinjing, “ dengan wibawanya Junai memberikan nasehat kepada mereka berdua.
“Maaf kan kami bang” , jawab mereka serentak.
“Yuk tancap gas, motor Midun sudah baikkan , sekarang sudah
beranjak jam 11 malam ntar kita kelamaan di sini”, Junai sambil tersenyum
ke arah Punco.
“Lets go brother”, Punco dan Midun teriak dekat motornya.
Junai dan Punco bersiul
-siul
dan menyanyikan lagu’ persahabatan bagai kepompong,, , berubah ulat menjadi
kupu kupu,,, nana, nana,sambil nyalakan mesin motor dan mereka ngaspal kembali
Hampir diujung perjalan tepatnya di daerah Batusangkar Tabek Patah, mereka
melihat sebuah warung gorengan Kopi Kawa Daun( minuman khas orang minang tempo
dulu) dan sebuah motor CB classic warna hitam. Junai pun langsung berkata
kepada mereka “Gimana kalau kiata berhenti di warung itu, karena cuaca d isini
sangat dingin,dan kita berhenti sejenak untuk panasin tubuh kita dengan minum
kopi kawa brother” , ujar Junai kearah teman-temannya.
“Oke !”, jawab mereka serentak. Mereka pun langsung berhenti untuk
menghampiri warung tersebut.
Ketika mereka sedang asyik dengan guyonan sambil minum kopi kawa daun,
ada seseorang menghampiri mereka.
“Hmm.. mau kemana Junai”, ujarnya.
Junai membalas sapaan itu, “Wahh. Apa kabar Dayat?.Kami mau ngaspal
alias jalan jalan ke kota Bukittinggi . Kamu sedang apa di sini.?” Tanya balik
.Ternyata seseorang itu Dayat, teman kuliahnya dulu yang berdomisili di
Batusangkar .
“Ini warung orang tua ku Junai. Makanya aku disini bantu bantu meraka, dan
motor hitam itu motor ku, gimana keren gag?”
Junai terkejut dan tersipu kegirangan, “ Wahh keren sekali. Kalu udah jodoh
tidak kemana- mana ya..”
Mereka pun menghabiskan waktu bercerita bersama –sama, karena telah
lama tidak bersua sejak tamat kuliah.
Sudah 30 menit mereka beristirahat, akhir cerita Junai mengajak Dayat untuk
ngaspal bareng ke Bukittinggi, dan Dayat pun mau nagaspal bareng mereka.
Perjalan ke Bukittinggi lebih kurang satu jam dari tempatnya.
Junai, Punco, Midun, Acong, Kundo, dan Dayat menunggangi motor mereka
masing- masing untuk melaju ke kota wisata yang asri lagi permai yakni
Bukittinggi. Akhirnya mereka sampai di tujuan dengan selamat. Dan motor
merekapun berbaris gagah di depan ikon Bukittinggi yaitu Jam
Gadang. Mereka tidak lupa untuk mengabadikan moment malam itu sambil berteriak
“ Welcome Jam Gadang”!
***
Perjalanan Djahanam
“Doa adalah lagu hati
yang membimbing ke arah singgahsana Tuhan meskipun di tingkah oleh suara ribuan
orang yang sedang meratap.”Khalil Gibran.
Malam di selimuti kabut perbukitan, aku berjalan menuju pusat kota
dari kampungku, tempat aku lahir hingga dewasa, kampungku kecil berada ditengah
kabupaten yang pesat oleh tambang emas, tetapi kampung kecilku akrab di kenal
orang dengan sebuah masjid megah di tepi ruas lintas sumatera, bahkan sering di
singgahi oleh musyafir dalam perjalanan untuk melaksanakan perintah dan
mengabdi pada yang kuasa. Malam pun semakin larut, hiruk pikuk jalanan
menemaniku dalam kesendirian yang sedang mengendarai kuda besi untuk mencapai
pusat kota. Seiring laju kenderaanku, terasa ada yang bergetar di kantong
sebelah kanan celana jin yang aku pakai, membuatku geli dan ingin melihat apa
yang terjadi didalam kantong itu, sebenarnya getaran ponselku yang dirasuki
pesan pendek.
Seraya aku ingin menghentikan sejenak perjalananku yang berada di
tengah pesawangan yang sepi. Dengan rasa cemas bercampur misteri, aku lekas
memembuka pesan pendek tersebut,karena dibalut ketakutan dalam kesunyian.
Bertita pesan pendek aku baca hingga aku menjadi gelisah . Karena isi pesan itu
menuliskan” Maaf anda tidak diterima di perusahan kami terimah kasih atas
partisipanya dalam melamar. TTd Panitia Rekutment”. Kelut, gunda dan
gelisah menyertai perjalananku, hatiku berdetak dan berbicara, kenapa aku bisa
seperti ini?. Karena aku yakin dan optimis akan lulus ujian penerimaan untuk
menjadi karyawan di perusahan itu. Sebab, aku telah berusaha sekuat mungkin,
dan tidak luput dengan iringan doa-doaku kepada yang esa. Kepasrahan sikap
lahir dalam diriku, aku hanya bisa menerima kegagalan ini yang mengukir goresan
dalam.
“ Wahai tuhan yang maha agung apa ini jalan ku, apakah ini yang
terbaik untuk aku. Berikanlah aku petunjuk Mu ?” sambil memejamkan mata dalam
meratapi kegagalanku.
Perjalanan ke kota aku lanjutkan dengan membawa Kekacauan dan
kesedihan hati, menemani dalam perjalanan. Setiba diperbatasan kota, roda dan
benen kenderaannku tidak kuasa untuk melanjutkan perjalanan.
“ pisssssss... gawat .” mengerutuk
Lalu aku segera berhenti
dan memeriksanya, ternyata sebuah paku telah menusuk kulit sampai kepermukaan
roda itu, “walah kualat, apakah saya telah mendzolimi orang tadi” kekacauan
semakin menggores gores-suasana malam. Masalah tidak akan bisa selesai jika aku
diam dan mengerutuk terus. Lalu, aku dorong
motorku sambil mencari sebuah bengkel.
Selama pencarian itu, aku tak lepas dari kalimat “ apakah ini
ujian untuk hambamu, astaghfirullah, ampuni daku ya rob!”. Suasana malam
semakin dingin dan kabut perbukitan semakin tebal, jarak padangaku terhambat.
Langkah demi langkah dengan hembusan napas kelelahan selama satu kilo meter
berjalan kaki sambil mendorong kuda besiku roda dua, bengkel tak juga kunjung
di temukan. Maka aku beristirahat untuk
menghilangkan rasa keram di kakiku, sambil duduk di sebuah loneng di tepi jalan
dengan melemaskan tubuh yang kaku. Selama sepuluh menit istirahat, aku segera melajutkan pencarian, hanya
beberapa meter saja berjalan, terlihat di ujung yang tertutupi oleh pagar rumah
ada plang merek yang bertuliskan tambel ban yang di sinari oleh cahaya lampu
redup. Langkah kaki dipercepat dan semangat pun mulai muncul penuh dengan
harapan supaya lepas dari segelintir penderitaan, akhirnya kenderaan pun pulih,
aku segera melanjutkan perjalan kediaman
kosan Dinul adik kandungku yang masih kuliah, kemudian tiba dikediaman Dinul.
“tok tok.. aslamualaikum” mengetok pintu kamar Dinul, ia pun terbangun dan
segera membuka pintu, oh uda” jawabnya mengantuk. Tanpa banyak basa-basi aku
masuk dan meletakan rangsel hitam di
sebelah lemari reok, “uda (panggilan kakak laki-laki di minang) sangat letih,
mau istirahat dan besok pagi uda akan pergi mencari kerja, perusahan kemarin
uda tidak diterima” ujarku sambil terbaring di atas kasur hingga aku tertidur
pulas.
Hampir seminggu, aku hanya
mencari dan mencari informasi lowongan pekerjaan untuk sarjana penuh (S1),
bahkan setiap jejeran kantor-kantor aku singgahi, namun tidak kunjung dapat.
Melintas lah dalam pikiran sebuah putus asa, aku pergi ke pantai untuk
melepaskan pikiran yang sedang merong-rong hariku. Siang itu di sinari mentari
bersama sepoi-sepoi angin di atas karang-karang
besar,dengan serpihan ombak membasahi sekujur kakiku yang menjuntai.
Ponsel kecil kepunyaanku yang aku letakan di atas karang, berdering hingga
memecahkan semua pandanganku ke laut, ternyata sebuah panggilan untukku dari
mama.
“Assalamualaikum, ada apa ma?”
“ Waalaikumsalam, apakah kamu sudah dapat pekerjaan?”
“Belum ma, ntah kapan aku bisa mendapatkannya?”jawabku lemas
“ Jika begitu, bisakah kamu ke kampung sekarang”kembali tanya
mamaku.
“Ada apa ma, Hingga mama mendadak menyuruhku pulang?”
“Jangan di tanya sekarang, di rumah saja! Itu pesan papa”tegas
mama.
“Baik ma!Tafit sore ini langsung berangkat”
***
Hembusan angin siang itu, berubah menjadi sore berwarna Jingga,
laksana penasaran mendidihkan panas,
drama suara apalagi yang akan menemuiku. Perjalanan empat jam lebih kurang aku
nikmati tanpa kendala apa pun, hingga aku malam sampai di rumah. Setiap sudut
rumah aku tatap tidak satu pun yang berubah, hawa damai masih terasa. Tetapi,
ada seorang yang aku tidak tahu siapa mereka, sangkaku mungkin teman orang
tuaku, karena mobil hitam parkir di depan rumah, aku segera masuk ke rumah,untuk
ingin tahu siapa tamu itu.
“Assalamualaikum”
“ Waalaikumsalam” mereka didalam serentak menjawab.
“Ini anak ku Tafit sudah datang dari kota, nak ini datuak Sidi
dengan temannya juragan Burhan” terang mamaku,
Aku masih belum tahu ada apa mereka datang kerumah, bahkan orang
itu asing bagiku. Lalu aku pergi kekamar untuk meletakkan tas dan helemku.
Seiring aku kekamar Datuak Sidi dan temannya pamit untuk pulang, dalam sela
pembicaraan itu aku mendengar hal yang penting “ jangan lupa aku besok aku akan
kesini lagi, dan membawa anakku” tutur Datuak Sidi.
Pagi yang berembun, cuaca yang sejuk menemaniku di teras rumah,
dengan tangan di kepala, memikirakan teka-teki itu. Mamaku masih menutup
mulutnya tak mau bicara padaku, sama halnya papa, tak keluar dari kamar.
Matahari pun beranjak di tengah atap rumahku, hampir akan aku jawab teka-teki
itu, tepat pada serombongan keluarga Datuak sidi datang ke rumahku beserta anak
tunggalnya yang seorang janda beranak satu.
Ke akraban dua keluarga sangat terlihat, tawa dan cerita
bertebaran, tetapi inti persoalan belum nampak, aku tetap menguping pembicaraan
mereka dan tak mau duduk bersama.
“Tafit duduk ke sini ada yang ingin kenal”saut mamaku
“Iya ma, sebentar”
Aku pun ke sana, duduk bersama mereka, lalu aku kenalkan diriku
samapai anak pak Datuak Sidi itu di kanalkan padaku, sungguh aku tidak menyangka
ternyata mereka menjodohkan aku dengan anak nya. Sebab, orang tuaku ingin balas
budi mereka, bahkan demi sebuah status sosial, yang bergantung pada adat
istiadat. Sungguh aku terasa jatuh, badanku terasa ngilu tak berdarah,.
Tepat waktu itu pada akhir
bulan September ia tersudut didalam
gelisah yang sangat membunuh dan hampir sirna semua bintang bintang ku.
Seperti matahari yang telah menertawakan ku . Hingga berfikir tuhan tak adil, dunia itu status,
kita lahir petaka, cinta itu nafsu, pendidikan itu topeng, karena semua orang
tidak bisa memahaminya, termasuk orang tua yang aku cintai. Malah mereka
menyalahkan dan menuding dirinya seperti sampah kering di basahi air yang
membusuk di tengah hiruk pikuk pasar, karena orang tuaku yang terlalu memikirkan
konsep hidup, status dan adat yang menimbulkan ke khawatiran berlebihan yang
menuju ke lemahan. Dan akhirnya aku lemah ,hingga aku sering murung bahkan
menekam diri sendiri di kamarnya sampai terlintas dalam pikiraku kapan perjalan
djahanam ini akan berakhir.
***
Segumpal Kertas dalam Cerita Buta*
Ditulis oleh : Fadhlur, R A.
IDFAM250M (Sijunjung- Sumatera Barat)
“Hidup
adalah kegelapan jika tanpa hastrat dan keinginan. Dan semua hastrat-keinginan
adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan pengetahuan adalah hampa,
jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak
disertai cinta”Kahlil Gibran
Angin laut
berhembus seakan mengusir kegersangan siang tadi,
debu yang beterbangan, desiran daunan
pinus mengeleng kian kemari menari menikmati cuaca sore itu. Aku berdiri
tertegun dan memberhentikan langkah tepatnya di depan perpustakaan kampusku. Dihadapanku banyak mahasiswa lain duduk berkumpul
dengan teman-temanya disebuah taman rindang sebelah
gedung perpustakaan,Taman
Seribu Janji itulah suatu nama pemberian dari mahasiswa-mahasiswa kampusku, untuk lebih singkat
disebut mereka dengan TSJ, karena
mahsiswa-mahasiswa kampusku pada membuat janji di taman itu, hingga dari
generasi ke generasi.
Disampingku terletak segelas kopi yang kira-kira disuguhkan satu jam yang
lalu, aku meminum sehirup kopi yang sudah tidak panas lagi sambil melihat
mahasiswa-mahasiswa yang penuh dengan cerita, ada yang bercerita siapa cowok
yang kemaren disampingmu, kapan kita shoping bersama lagi, aku punya barang baru nih, kemana bagusnya
kita liburan, yang lebih gila mengunjing para dosen-dosen, sungguh cerita
mereka buta, tapi mau gimana lagi, itu lah kehidupan kampusku.
Diiringi deruan suara knalpot motor dan mobil yang di kendarai mahasiswa
sudah satu-satu meninggalkan areal kampus dan berangsur pulang, suara gelas
yang bersentuhan sudah terdengar, berarti si pemilik kantin sudah mulai
mengemasi jajanannya, karena kantin itu bersebelahan dengan TSJ, matahari pun sudah semakin condong ke ufuk
barat dan hampir tenggelam ke dasar laut. Tapi aku belum jua beranjak dari
tempat dudukku, merenungkan dalam ke sendirian, sambil menulis sebuah untaian
hati di balut emosi, lalu aku mendengar seorang memanggilku dari arah utara,
“ Wahai Fatir mengapa dikau sendirian ditaman itu, sedang apa?”dari
kejauhan
Kemudian aku menolehkan mukaku ke sumber suara
itu.Ternyata Jefri teman seangkatan ku, aku dan dia mempunyai banyak kesamaan,
pertama warna kulit sawo matang, rambut sama-sama hitam, bahkan hobi aku dan
dia sama hobi menulis dan menulis, seperti pepatah diiklan TV “talk less do
more” sedikit bicara banyak kerja. Contohnya sewaktu aku bersamaannya duduk
ditaman sambil memegang sebuah pena dan kertas, dan menulis apa yang ada dalam
emosi pikiran, hingga menimbulkan suasana sepi dan sunyi.
“Tungu aku disana, cerita baruku akan menyampirimu” suara
lantangnya
Lalu ia mendekatiku,dan memukul pundakku, sembari Jefri
menatap tulisan yang ada dikertasku.
Tidak ngapa-ngapain hanya duduk sambil menulis apa yang
teruntai dalam emosiku saja. Jefri dari mana, kok bisa munjul dibelakang ku?
Seperti jailangkung aja, nongol kapan kamu mau, aku lama menunggu kamu disini,
untuk duel bikin tulisan emosi emosi kita lebih rame.
“tadi aku sedang mencari
sesuatu yang hilang!” dengan wajah serius
“ Hilang! Kamu kehilangan apa?” tanyaku balik.
“ Aku kehilangan teman ku yang bernama Fatir” dengan
guyonnya
“ Walah kamu becanda terus , aku tanya benar kamu
jawabnya ngelantur”
“ Aku lihat wajah kamu sangat kusut, jangan serius hadapi
emosi itu Hahahahah” ia tertawa.
Angin pun berhembus agak kencang, awan berubah kehitaman,
kelihatannya hujan akan turun, ayunan dedaunan menari kegirangan menyambut
kedatangan hujan,semua penerang tiap sudut gedung menyala, begitu juga dengan
lampu di setiap ruas jalan pun mewarnai senja,
selang waktu semenit tetesan air pun turun dari langit membasahi
dedaunan ditaman, lalu Aku dan Jefri pun beranjak dari taman menuju teras
gedung perpustakan untuk meenghindar dari tetesan air yang akan membasahi
sekujur tubuhku.
“Jefri sudah cebok kamu, pasti belum, gagara kamu gag
cebok hujan deh”gurauanku,
“Yah kamu yang belum mandi, disuruh mandi hujan tuh
Fatir” balas Jefri dengan gurauannya.
Semilir angin dingin telah mulai membalut kulitku, aku
tak kuasa untuk menahan, tersa menusuk ke tulang sendiku, hujan pun reda, namun
angin masih berhembus, “Jefri gimana sekarang kita pulang, aku merasa dingin
sekali, ntah apa yang terjadi pada ku, tersa angin ini duri”
“Oke bos! Motor kamu dimana?”tanya Jefri
“Di samping Pos penjagaan itu, ini kuncinya Jef!” jawab
ku
Aku pulang berboncengan motor bersamanya, aku pegang erat
tas kepunyaanku, biar aku terlindung dari dinginya angin senja. Adzan maghrib
berkumandang aku tiba dirumah, aku segera saja meyongsong kearah kamar ku,
sambil melemparkan tas yang aku peluk erat tadi ke arah meja di dekat Televisi,
setiba didepan dipan kamar, aku bantingkan seluruh tubuhku keatas dipan itu
tampa aku ganti baju,yang habis seharian aku pakai, lalu Jefri menengokkan
kepalanya disela pintu kamar ku,
“Mungkin kamu keletihan aku liat wajah kamu agak pucat”
“ Iya Jefri, badan ku menggigil dan kepalaku agak pusing”
jawabku terkapar dan badanku diselimuti oleh selimut tebal.
“ Kalau begitu, aku pulang dulu yah! gimana aku bawa aja motor mu kerumah ku?
“ Iya Jefri, kayaknya aku besok tidak masuk kuliah,
apakah kamu izinin aku atau ambil absensi aku yah?
“ Sip Bos! Itu masalah geleng, Jangan sebut nama aku
Jefri, yang lebih penting kamu cepat pulih kembali dan kita bisa mengukir
tulisan diatas kertas bersama cerita buta ditaman TSJ ” sambil mengasih jempol
kearah Fikri.
Hari esok pun tiba, badan aku masih tersa panas dingin,
begitu juga kepala ku semakin terasa
panas, karena semalaman aku tidak bisa tidur, yang di hantui oleh badan yang
menggigil dan pikiran kacau, hingga mata tidak mau terpejamkan. kemudian aku mengambil
obat yang ada di kotak hijau diatas meja belajarku, seiring doa dan harapan,
aku harus sembuh hingga besok, lalu aku telan obat itu dengan segelas air
putih, aku pun tertidur kembali setelah mengkonsumsinya.
Kring, kring,,, irama bunyi ponsel ku memanggil, satu
panggilan tidak aku hiraukan, aku biarkan saja berdering, karena rasa badan ini
berat dan mata melekat untuk menjangkau benda yang berisik itu, pada waktu
hitungan ketiga panggilan ponsel itu, aku buka mata yang melekat, dan aku
tegakkan badan yang berat,untuk mengetahui siapa yang sedang memanggilku,
akhirnya, aku mengambil ponsel itu, kemudian terdengar lah sebuah suara yang sangat asing dalam telinga ku.
“Hallo, maaf mengganggu pak” ujar sura itu kepada ku
“Iya Hallo, maaf ini siapa?”
“Maaf sebelumnya, saya memeriksa panggilan terakhir
diponsel ini nomor ponsel bapak, lalu aku hubingi aja nomor ini, sebab,,,”
dengan terbatah batah ia berbicara.
“Sebab,, sebab apa pak? Ini nomornya Jefri kan?” aku baru
sadar bahwa nomor ini, nomor ponselnya Jefri. “ Pak sebenarnya apa yang terjadi
pak? Sautku penasaran.
“Tenang pak, sebab, Jefri sedang di Rumah Sakit Umum
Pancoran, dan dia dalam keadan sekarat, karena musibah tabrakan 10 menit yang
lalu ”.pungkasnya
Mendengarkan penjelasan itu badanku lansung menggigil
ketakutan dan cemas hingga berkeringat,
dan mataku perih hampir meneteskan air. Aku pun bergegas beranjak dari kamarku
dan segera pergi ke Rumah Sakit Umum (RSU) Pancoran,. Seling waktu 15 menit
perjalan dari rumah ku ke RSU Pancoran, baru saja aku menginjakan kaki di
gerbang rumah sakit itu, ponsel ku berbunyi kembali, cuaca pada hari itu cerah
tepat pada 23 juli. Namun, ponselku bercerita lain, ketika aku mendapatkan
sebuah berita, yang membuat badanku tersender kaku diloneng gerbang, cuaca pun
terasa berubah, daun-daun tersa pada berguguran, “kenapa kau lekas
meninggalkanku, cerita-cerita buta itu masih terbangkalai dalam ukiran kita”
aku sedang meratap kaku memandang segumpal kertas yang aku ukir dengannya yang
aku ambil dari tas hitam ku,
Setelah kepergiannya, Hari-hariku pun berubah menjadi
sunyi sesunyi malam, aku tak mau menginjakkan kakiku ke Taman Seribu Janji itu,
segumpal kertas yang aku ukir bersama dia, aku simpan pada kotak kecil dalam
lemariku. Semenjak itu, cerita buta hilang, leyap bak ditelan ombak, sampai aku
diwisuda dan menjadi sarjana.
Setahun setelah aku diwisuda, selama satu minggu, setiap
tidurku, aku dihadiri oleh mimpi yang menggambarkanku bersamanya, hingga disela
aktifitas kerjaku, aku teringat dengan kenangan kenangan itu, yang paling
terbesir dalam pikiranku adalah Canda tawa yang selalu mengisi waktu luangku
bersama Jefri dulu, dan segumpal tulisan cerita buta itu.
Mataku mulai menyoroti satu demi
satu gundukan buku, baju dan benda benda yang ada dalam lemari, mataku pun
terpusat pada satu benda, yaitunya kotak kecil yang berisi segumpal kertas yang
aku simpan tahun lalu. Sewaktu mataku terarah pada kotak itu, aku merasakan ada
bisikan untuk membukanya, dahulu aku menyimpannya dan tak ingin lagi untuk
mengenang masa itu, malah perasan itu semakin kuat, dan menimbulkan selaksa
misteri ingin tahu. Maka aku buka lah kotak itu, lalu tanganku mengambil
segumpal kertas dan membacanya sehelai demi sehelai. Pada tulisan paragraf
terakhir,
“Seperti banyak hal aku berharap
aku tidak melakukan
Tapi aku terus belajar , dengan
cerita buta
aku telah
menemukan alasan untuk aku
Untuk mengubah siapa aku dulu Dan harus aku katakan sebelum aku pergi ,
Sebuah alasan untuk memulai kembali dalam cerita buta, sebab kau menulis bukan
dengan sesuatu yang buta Karena itulah aku ingin kamu mendengar dan alasannya
adalah kamu”.
Aku mengingat-ingat kembali kejadian bersama dia di
TSJ, sebab aku sama sekali tidak tahu, "oh iya"ingatku, sewaktu itu
ia menatapi tulisanku di Taman Seribu janji, dan Pada waktu itu pun hari mau
hujan, aku lupa untuk memasukan segumpal kertas kedalam tas ku, lalu ia
selipkanlah sebuah kertas tulisannya pada segumpal ikertas ku. Akhirnya rasaku
pun ingin kembali dalam mengukir cerita buta.
****
PAKTUA DENGAN SECANGKIR KOPI*
Pada suatu malam yang dingin diselemuti oleh debu perkotaan
dan dihebohkan dengan hiruk pikuk kenderaan yang berlaju kencang, klakson mobil
terdengar jelas dari semua sudut jalanan, terlihatlah acik yang berusia 23
tahun sedang menenteng tas kumal ditangan sebelah kanan, tas yang ditenteng
pemuda tersebut sudah tak layak dipakai untuk membawa perlengkapan apapun
karena robek dan rapuh, dilihat dari wajah dan penampilannya, ternyata dia
seorang mahasiswa semester akhir disalah satu perguruan tinggi di kota Padang,
dengan membawa serabut lelah, letih berbaur dengan emosi yang mendalam sepulang
dari sebuah tempat kumuh yang berada jauh dari perkotaan untuk menuju
kediamannya dipikingkir komplek perumahan dekat kantor kejaksaan, Acik berhenti
sejenak pada sebuah warung dekat rumah yang dia sewa alias kos-kosan, biasanya
warga sekitar menyebut dengan warung kopi mbak Mun, lalu ia meminta segelas
kopi, kemudian Acik duduk di kursi sebelah kanan warung, dan dia tak sadar bahwa
kursi yang dia duduki itu agak rapuh, menggambarkan apa yang terjadi pada
dirinya yaitu perasaan yang rapuh.
Selama satu menit lebih kurang ia mencicipi kopinya, terlihat
dari sudut pandangan mata Acik tersebut. Ada seoarang Paktua yang berjalan
tegap tinggi, memakai kopiah hitam dan mengeluarkan siulan-siulan kecil sambil
menoleh sana-sini. Paktua itu singgah di warung yang sama dengan Acik. Setiba
Paktua di warung mbak Mun, terlontar dari mulut Paktua itu “mbak Mun Kopi satu
cangkir”, dengan tidak menoleh sedikit pun kepada Acik yang duduk hampir
berdekatan dengannya. lalu Paktua itu mendapatkan segelas kopi, dia mengeluarkan rokok dari
dalam saku bajunya, dan tak sadar Paktua itu lupa untuk membawa korek api, biasanya
korek api seiring dengan kotak rokok yang ia bawa, dan dia ingin sekali menyalakan
rokok yang akan dia hisap, Paktua itu langsung menoleh pada Acik, dengan tidak
menanyakan korek api tetapi Paktua itu menanyakan “dari ma yuang..? (dari mana
nak?) karena Pak tua itu melihat seorang Acik sedang melamun kosong dan Acik
pun langsung menjawab dengan singkat pula “dari kampung jambu Pak” dengan nada
lemas alias tidak keras, Pak tua tersebut bertanya lagi “ dima kuliah? (di mana
kuliah?)” dengan tidak memikirkan apa yang ditanyakan Paktua, Acik menjawab
dengan polosnya “ di kampus Pak”, Paktua enggan untuk bertanya lagi, seiring
dengan pertanyaan terakhir Paktua itu membelajari apa yang terjadi pada Acik dan akhirnya
Paktua itu menanyakan korek api kepada Acik karena dia sedang merokok pula, dan
Paktua menyalakan sebatang rokok yang akan dia hisap sambil menghirup aroma
kopi mbak Mun.
Silang waktu semenit
Acik mencermati apa yang terjadi dengan jawabannya. Di dalam bisikan hatinya
berkata “ ya ampun.. aku salah menjawab pertanyaan dari Paktua itu” dengan kesalnya.
Sebelum Acik akan minta maaf kepada Paktua dari jawabannya yang salah itu, Acik
sungguh terbawa dalam suasana malam yang nikmat dengan secangkir kopi mbak Mun,
dan timbul rasa segannya untuk minta maaf, lalu Paktua mengeluarkan segengam
syair puisi yang tertulis dari kertas buram yang ada di belakang kotak
rokoknya, dan beliau membacanya satu demi satu bait puisi itu ;
Rindang Tak Berbuah
“Tertawa langkah kaki tegapik
Harap seribu kata demi kata tepat
Hiruk pikuk terdengar melingkari atap
Semua tinggal gelap
Wahai pelita
Berikan aku segelas tuak putih!
Akan meremukkan tawaku
Muka tampa malu
Meremukan semua yang semu
Kau terlamun dalam mimpi”.
Bait demi bait puis itu Acik menyimak dan mencermati
tiap-tiap makna yang tersiratdi dalamnya yang diucapkan oleh Pak tua. Setelah
Paktua berhenti dalam membaca syair tersebut, Acik pun langsung mejulurkan
tangan kanannya dan melontarkan kata maaf pada paktua, dan Paktua tak mengujurkan
tangannya, karna ingin bertanya satu kata demi kata yang tepat, “ada apa
gerangan pemuda, hingga kau menjulurkan tanganmu dan melontarkan kata maaf pada
aku, apa pasal kau seperti itu, apakah aku telah menyinggung kau dengan syair
ini?” dan Acik lekas menjawab “demi tuhan yang aku sembah, sesungguhnya bapak
tak membuat aku tersinggung dan sungguh, bapak membuat aku kuat dengan syair
yang bapak bacakan, malahan aku mendapatkan suatu pelajaran. Paktua menyambuti
dengan senyuman, lalu paktua bertanya kembali “apa yang membuatmu kuat dan
menjadi sya’irku pelajaran untuk mu” kemudian Acik tampa enggan menjawabnya “
sewaktu bapak membaca tiap-tiap bait syair itu, aku mencermati dan menafsirkan
dalam perasaanku dan syair itu adalah suatu bentuk penjelmaan permasalahan
dalam diriku”, dan Paktua spontan memotong perkataan anak muda itu “ begitu kah?”
kata pak tua, Acik menjawabnya “ iya Pak”
lalu Acik melanjuti penjelasanya “ dalam sya’ir itu akulah lelaki
tersebut karena aku yang masih muda dan tegap ini belum bisa menyikapi apa yang
ada disekitar dan selalu mengambil tindakan bodoh yaitu ceroboh dan tidak
berfikir sebelum berbicara, dan seketika aku menjawab apa yang ada dihadapan
saya, selalu dengan ceroboh karena dihantui oleh masalah yang telah berlalu dan
saya terlamun oleh masalah-masalah”, Paktua membenarkan apa yang dijawabnya
dari pertanyaan itu.
Seirama antara dialog Acik dengan Paktua yang sangat
mendalam, Paktua pun menatapi secangkir kopi di atas meja warung mbak Mun,
Paktua “anak muda! lihat kopi itu
berwarna hitam, apabila kita meminumnya
atau mencicipinya terus menerus kita pasti kecanduan denagan kopi, dan begitu
juga kehidupan, kehidupan itu laksana kopi hitam jika terlamun dalam kecanduan
dunia, kita akan membuat hidup ini hitam karena setiap yang mencandukan itu
sakit, karena kita terlamun dan tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Apakah
anak muda mengerti apa yang saya jelaskan, mungkin suatu saat anak muda akan
menemukan jawaban ini dan tak akan menemukan orang yang seperti ini”. Acik meneteskan air mata setelah mendengarkan
olesan dari Paktua dan dia sadar dengan kesalahannya yang telah berlalu.
Terlintas dalam pemikirannya kenapa orang yang sama sekali dia tidak
mengenalinya dan tak tahu siapa dia dan ia mau memberikan sesuatu hal dan suatu pelajaran yang membuat saya terkesima karena
pelajaran itu sama sekali belum pernah saya ketahui sebelumnya, itu lah yang
tergores dalam perasaan Acik.
Seiringnya secangkir kopi Paktua itu habis, dan Paktua pun
langsung berjalan pulang menuju kerumahnya yang ada didekat pendopo seberang
jalan raya, dan Acik tak sadar bahwa Paktua itu telah beranjak kaki dari
warung, karena dia masih terkesima oleh olesan syairnya Paktua, kemudian Acik bertanya
dalam dirinya, “apakah saya telah mengucapkan terima kasih dan apakah saya
telah memperkenalkan diri saya kepada bapak itu, siapa engkau bapak tua? ”
berucap dalam hatinya, maka timbul tekad Acik untuk harus mengucapkan terima
kasih dan menganal Paktua itu lebih jauh dan ingin tahu siapa sebenranya. Malampun
telah jauh berputar, disertai rasa penasaran yang sangat mendalam, hingga dia
juga beranjak pulang ke rumah kosannya yang berada dekat dengan warung mbak Mun,
setiba dia dikamarnya, dia pun membantingkan seluruh badannya keatas kasur empuk
untuk melepaskan dari cengkraman letih dan emosi dari bermacam aktifitasnya
seharian, lalu iapun tertidur pulas
hingga fajar tiba esok hari.
Semalam dia tak sabar untuk menunggu hari esok, untuk bersua
dan berkenalan dengan Pak tua, yang telah memberi sebuah nasehat dan motivasi
secara tidak langsung sewaktu bertemu diwarung mbak Mun. Fajar diufuk timur
telah tiba tepat pada tilawah adzan subuh “hayya’alassolah” dan dia pun
terbangun dari lelapnya tidur, untuk melaksanakan suatu tuntunan wajib kepada sang kholiq yaitunya ibadah sholat
subuh, serumpun doa dan zikir menuntunya
untuk khusuk menggapai semua harapan dan cita citanya.
Rintik hujan
mengawali hari, tak ada sinar mentari. Mendung menjadi tirai menutup sang
surya. Namun tekatnya tidak semendung awan yang menutupi sang surya itu, Acik
lalu menyinggahi warung mbak Mun disela rinai air hujan. “Mbak Mun Paktua yang
ngobrol sama saya tadi malam, dimana rumahnya mbak” acik bertanya kepada mbak
Mun sambil menyibaki rambutnya yang basah oleh hujan, “oh pak Kusumo Namanya.
Dia tinggal dekat sini juga, tepatnya diperampatan ujung dekat bandarkali No
44” pungkas mbak Mun menjawab. Acik lalu beranjak pergi dari warung itu dengan
langkah kaki berlumur penasaran menuju alamat tersebut. Tibalah dia dirumah
yang dia tuju, tok tok.. assalamualikum” tangannya sambil mengetok pintu,
“ukhuk uhuk’’Waalaikumsalam” sembari jawaban suara dibalik pintu, dan menjelma
dalam pandangannya sampai rona merah diwajahnya tersipu malu, sebab suara itu
adalah suara Paktua yang dia cari, “ kamu nak, silahkan masuk, ada apa gerangan
hingga sampai kerumah” sambut Paktua mempersilahkan duduk. “ kaki dan hatiku
lah yang membawa aku kemari Pak untuk bersua dengan bapak,”ulas Acik menjawab.
Acik dengan
tubuh tegap duduk di depan meja tamu, tak kuasa untuk bertanya, namun Paktua
yang mengawali perbincangan itu, lalu suasana keakraban pun timbul dan menjadi
sebuah perbincangan hangat, hingga Acik mendapatkan jawaban dan terhapus
dari sebuah penasaran itu. ternyata Pak
tua tersebut bernama Kusumo dininggrat berusia 75tahun dia adalah seorang
pensiunan PNS (Pegawai Negeri Sipil) khususnya seorang guru, dia mempunyai buah
hati satu pasang, dia sudah sepuluh tahun ditinggal hidup oleh istri
tercinta, tak kalah hebatnya lagi dia
pernah memimpin perusahan dimedia masa lokal, disebabkan semasa dia menjadi
guru sekolah guru tingkat atas (SGA) pada masa setelah penjajahan, dia sering
menulis hingga tulisan dan karya puisi yang dia buat termuat disetiap media
masa, sampai dia dianggkat jadi redaktur hingga menjadi orang nomor satu
diperusahaan, Itu hanya sepenggal tentangnya, namun sepenggal itu membuat Acik
semangat dan menambah warna kehidupan yang baru. Rinai hujan pun redah, obrolan
demi obrolan telah mengalir, tibalah waktu untuk pulang, jarum jam beranjak ke
angka enam bertanda magrib akan tiba. Acik segera melangkahkan kaki dan
mengakhiri pertamuannya dengan ucapannya salam.
Minggu penuh
warna membawa wahana baru, setiap pulang dari kuliah, Acik luangkan waktu untuk
singgah kerumah pak Kusumo, diskusi dan tukar ceritapun mengisi wahana
hari-hari Acik untuk menambah pengetahuan tentang kehidupan ini, Satu dua dan
tiga dia memberikan sebuah buku kepada
Acik dari koleksi kecil perpustakaannya. Buku bukupun bertaburan, waktunya
diisi dengan membaca, hingga dia tak luput membawa tas kumalnya yang berisi
buku buku karena itu semua adalah referensi menuju pelangi “kalau kau ingin
mengelilingi dunia berbanyak lah baca buku karena buku adalah ibu pengetahuan,
yang akan membawa engkau kemana engkau mau” Pungkas kalimat yang mengingatkan
selalu dalam jalanya.
***