Jumat, 25 November 2011

Kerdilnya minangkabau di area moderat


Dimano kain kabaju, diguntiang indaklah sadang, lah takanak mangko
diungkai, di- mano nagari namuah maju, Adat sajati nanlah hilang, dahan jo rantiang nan dipakai.
Kamajuan suatu negri di Minangkabau, tidak akan dapat dicapaidengan baik,
kalau kiranya ajaran Adat diamalkan tidak sepenuh hati, atau tinggal sebuta
n
 
Ratak limau dek binalu
Tumbuah sarumpun di tapi tabek
Kok abih raso jo malu
Bak kayu tangga pangabek
sagan mayagan dan raso jo pariso itulah ciri urang minag
Melihat dari kondisi sekarang ini yang semakin parah dan mulainya pudarnya pemahaman budaya dan adat Minangkabau, dan merasa prihatin.  tak bisa lagi mungkir atau mengelak dari realitas yang ada, sebuah kenyataan betapa orang muda Minang hari ini telah mengalami suatu masa perubahan corak dan lagak gaya hidup. Saat ini, di mana terjadi pergeseran nilai secara besar-besaran, gaya hidup serba digital dan instan sangat cepat merasuki tatanan hidup masyarakat dunia tidak terkecuali masyarakat Sumatera Barat (Baca orang muda Minang). Sebuah kekuatan hebat telah menjelma, ketika televisi telah memainkan perannya hingga ke pelosok taratak, membuat mata orang muda Minang terkesima, maka paruh-paruh industri pun mencengkram dengan kuatnya. Sehingga sebuah contoh sederhana, betapa hal yang tidak mengherankan ketika model baju terbuka yang memperlihatkan bentuk dan keindahan tubuh menjadi pusat mode (trensenter), meski bertentangan dengan adat yang bersandikan syarak kitabullah, namun apa dikata, model dan gaya hidup yang disodorkan kotak ajaib yang bernama televisi ini seperti tuhan yang selalu dipuja-puja. Mengapa gaya hidup semakin penting hari ini, apakah gaya hidup itu berarti ekspresi yang mengandung muatan positif, ataukah sebuah bentuk eksploitasi baru?
Melihat pudarnya budaya dan adat Minangkabau diantara masyarakat Sumatera Barat (Baca orang muda Minang) itu sendiri, tentu perlu kita ketahui apa yang menyebabkan hal itu dapat terjadi. Adat tidak lagi dijadikan sebagai landasan kehidupan bermasyarakat. Wibawa ninik mamak sebagai pemangku adat sudah lama hilang, beliau tidak dapat lagi mangabek arek mamancang patuih, ka pai tampek batanyo ka pulang tampek babarito.

Beberapa waktu belakangan ini, banyak perilaku menyimpang yang ditunjukkan masyarakat Minangkabau pada umumnya dan remaja Minangkabau pada khususnya, antara lain:

1) Anak jalanan yang kian hari kian bertambah, diberbagai tempat umum di kota-kota Sumatra Barat, kemanakah perginya falsafah “anak dipangku kemenakan dibimbing?” Apalagi yang menjadi anak jalanan tersebut anak perempuan, yang pada merekalah keberlangsungan sistem matrilineal ini digantungkan.
2) Lebih lanjut model berpakaian anak-anak remaja Minangkabau yang secara normatif jauh dari budaya dan adat Minangkabau. Dimana-mana kita dapat melihat anak perempuan berpakaian ketat dan terbuka, tidak hanya di tempat hiburan tetapi juga di tempat umum dan kampus-kampus. Kondisi ini mencerminkan longgarnya kontrol keluarga dan sosial. Dan tidak suatu Iembaga atau organisasi wanita yang mampu menjaring (merazia pakaian bikini/ketat ini) kalau ada hanya sebatas wacana. Lalu dimanakah letaknya Adat Basandi Syara’-Syarak Basandi Kitabullah? Bahwa perempuan Minangkabau itu ka unduang-unduang ka Madinah ka payuang panji ka sarugo.
Demikian juga halnya dengan pakaian jilbab, jilbab atau pakaian atau pakaian muslimah akhirnya tidak lebih sekedar mode yang membentuk pasar potensial baru, sebab itu dibarengi dengan baju yang ketat dan celana yang sempit hingga menampakkan pusar. Kemana perginya lembaga dan organisasi kewanitaan masyarakat Minangkabau? Tidakkah hal ini termasuk dalam program pemberdayaan perempuan?.
3) Satu hal lagi realitas perempuan Minangkabau saat ini adalah meningkatnya tindak kekerasan dan perkosaan terhadap anak perempuan. Bahkan disinyalir tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumatra Barat tahun 2005 menduduki peringkat tertinggi di Indonesia. Baik pencabulan, pelecehan seksual, penganiayaan dan perkosaan, umumnya anak berusia 4-12 tahun (di bawah umur). Yang lebih memprihatinkan lagi umumnya pelaku adalah orang yang dekat dengan korban. Jika dilihat lebih lanjut umumnya terjadi pada lingkungan terdekat seperti di rumah, tempat bermain, sekolah bahkan tempat mengaji. Banyaknya masyarak Minangkabau terutma para remaja yang tidak lagi mengenal adat, sopan santun, dan tata krama dalam adat Minangkabau.Dan berbagai penyimpangan lainnya yang tidak tersebutkan dan /atau telah menjadi rahasia umum yang telah diketahui orang banyak dan kita hanya “menutup mata” atas masalah ini.

Ketika kurangnya figur yang dapat diangkat menjadi pemangku adat, hal tersebut dikarenakan terbukanya kesempatan merantau sehingga pemuda-pemuda Minangkabau pada tumpah ruah ke rantau orang. Jadi tidak banyak pilihan yang dapat dilakukan untuk memilih calon pemangku adat atau calon penghulu. Namun lain lagi halnya apabila pemuda-pemuda kembali ke kampung halam untuk memajukan kampung halaman.a) Tidak adanya persiapan atau pengkaderan terhadap calon-calon pemangku adat atau penghulu tidak mempunyai persiapan yang cukup, malah ada yang tidak punya sama sekali persiapan ilmu pengetahuan tentang adat serta kesiapan pribadi sebagai “figure” seorang pemimpin yang siap menjadi teladan dalam masyarakat.
Pesatnya kemajuan bidang teknologi, sehingga jarak kota besar dengan daerah sudah sangat dekat, apa saja yang terjadi di belahan dunia lain dapat disaksikan pada detik yang sama dari pelosok-pelosok di ranah Minang. Hal itu sangat berpengaruh terhadap pola kehidupan bermasyarakat di ranah Minang.Contoh pergeseran nilai budaya Minangkabau menjadi nilai budaya yang “kebarat-baratan’ yang men”Tuhan”kan kebebasan. Tapi kebebasan yang bagaimana? Yaitu kebebasan yang bebas tanpa batas. Baru-baru ini peristiwa yang menghebohkan di Padang, Sumatera Barat. Rencananya akan diadakan suatu lemba yang mengusung seberani apa wanita muda Minangkabau untuk menggunakan celana sependek mungkin di tempat umum.
Untuk itu, hal yang harus dilakukan adalah dengan mengenal budaya dan adat  Dengan begitu akan mengenal budaya , dengan  mengenal budaya dan adat sendiri maka  akan mencintai itu semua.
Dengan meminjam isi novel karangan Michael Dibbi, Dead Lagoon:”Tidak ada kawan sejati tanpa musuh sejati. Jika kita tidak mampu membenci apa yang kita benci, kita tidak akan mampu mencintai apa yang kita cintai. Itulah kebenaran-kebenaran masa lalu, yang secara menyedihkan kembali kita bangkitkan setelah terpendam selama satu abad bahkan dalam bentuk yang lebih sentimental. Barangsiapa yang mengingkari semua itu, berarti mengingkari nenek-moyang, warisan, kebudayaan, dan bahkan kelahiran mereka sendiri, milik mereka sendiri! Semua itu tak mungkin dapat terlupakan”.semoga terwujudnya minangkabau yang sebenarnya minangkabau,yaitu :adat basandi sarak , sarak basandi kitabullah.
by fadhlur rahman ahsas(Imam panghulu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar