Jumat, 21 Juni 2013

Sebuah Naskah Novel


Keputusan Pasti

Sebelum Fadhlan mendapatkan sebuah keputusan pasti dari orang tuanya, ia selalu terlihat murung dan termenung dalam ruang kecil persigi empat yang cukup untuk ia beristirahat menghabiskan separuh hari-harinya. Ah, terlalu lama untuk mendapatkan keputusan yang ia inginkan,itu semua, karena papa mendapatkan tugas kantor di luar kota, tambah papa seorang yang disiplin dan taat dalam melaksanakan aturan, baik dalam pekerjaan maupun dimasyarakat,ia tidak ingin menyalah gunakan apa yang ia miliki,akan berakibat buruk dalam pribadinya apalagi karir. itu semua lahir dari ke-jujuran,bersamaan juga dengan proses dalam penyelesaian surat pindah rayon,mau tak mau, fadhlan harus mengikuti aturan main papanya,tetapi itu bukan sebuah masalah besar dari orang tuanya,yang dipermasalahkan mereka adalah belum sanggup untuk berpisah dengan anak sulung yang mereka sayangi. Jujur, Fadhlan mengetahui itu ketika ada perkumpulan rutin di persukuan kaum Malayu nagari Palangki , yang di adakan di rumah gadang kaum Malayu.sebelum helat perkumpulan dimulai, terlihat papa dengan Mamak Bandaro yang terlihat gagah dan wibawa dengan ciri kupiah hitam miring di kepala dan sarung bugi yang terlilit di pundaknya, bercakap disudut tiang rumah gadang sambil menunggu anggota kaum,karena papa orang sumando, ya, harus lebih awal hadir, begitu juga dengan mamak Bandaro seorang panghulu,yang menjadi suluah bendang nagari, contoh tauladan pada seluruh anak kamanakan.sewaktu mamak Bandaro dengan papa , Fadhlan berdiri disudut tangga rumah gadang, sayut-sayut sampai Fadhlan menguping pembicaraan mereka.
" Da Bandaro, ada sedikit yang ambo sampaikan,sekaligus mintak pendapat tentang sekolah Fadhlan kamanakan Da"Ungkap papa sambil menikmati sebatang rokok yang tersadar ditiang sambil bersila.
" Ya. Ambo mengerti dan sudah terlintas apa yang kamu bicarakan, alun takilek lah takalam*, ambo sudah tahu Jantan Betinanya" jawab mamak Bandaro dengan gaya kalimat khiasan.
" Istrimu yang menceriatakannya, ambo sangat setuju sangat Fadlan sekolah disana, seorang anak minangkabau harus mengerti dengan agama sejak dini, paling tidak untuk dirinya sendiri."Agama mangato Adek memakai" akan berguna kelak, apapun budaya yang ia temukan dimuka bumi ini, tetap agamalah yang menjadi pedoman hidupnya, bahkan keputusan ini pun berasal dari dirinya sendiri, orang tua siapa yang tidak mau anaknya sekolah berbasis agama, apalagi sekolah ini mendidik pribadi pemimpin isalami. Terang mamak Bandaro untuk memberi keyakinan.Sekilas itulah penyebab papanya masih dalam tahap pemantapan keputusan,untung aja mamak lebih legowo dalam sudut pandang yang membuat papa lebih yakin dan menjadi bentuk tolak ukur dalam mengambil keputusannya.Alasan itulah yang menyebabkan papa berat dalam menimbang untuk memutuskan suatu keputusan itu
Ya, sungguh pun begitu, Fandlan tak sabar hingga ia merasakan bosan dan hampir memuakannya, berhari-hari berita yang ditunggu dari papanya belum jua kunjung datang. Ya, teman sebanyanya pada sibuk berceloteh dan mengukir hikayah baru di sekolah baru, teman baru dari berbagai kampung dan tak kalah riangnya dengan kegiatan-kegiatan pekan orientasi sekolah mereka.Sedangkan Fadhlan masih murung dan membisu dalam penugguan kepastian keputusan, seandainya tidak terkabulkan keingginannya, kemana ia akan sekolah, jikalau bisa Fadhlan tidak akan bisa merasakan apa yang dirasakan teman-temannya,malah seperti orang asing, semoga papa memberi keputusan yang ia harapkan. Itulah sebuah pengadaian yang berkubu-kubu dalam pikirannya.
Sementara itu teman-temannya yang asik sedang bercerita-ria, ia pamit untuk meninggalkan konco-konconya itu yang berada di tepi pematang sawah di kerumuni ilalang yang biasa mereka bermain dan mengukir, memahat hari-harinya dengan jenis-jenis cerita. hari itu sore, tepat ba'da sholat ashar dan tepat pula alasan fadhlan untuk melaksanakan kewajiban sholat ashar. jemari ingin pamit, Fadhlan sempat mengajak mereka untuk melaksanakan rukun Islam ke-dua. salah satu dari mereka yang bernama Taufik yang senang usil dan pencemooh, juga sering membuat emosi naik, sebaliknya juga Taufik sering membuat mereka tertawa dengan macam-macam cerita konyol dan penuh humoris terkadang agak menjengkelkan. " Kalian tadi mendengarkan adzan tidak?" sahut Fadhlan sambil berdiri.
" Ingat, kita bukan anak yang berwarna putih di atas, merah di bawah, malah sebagian kalian ada sekolah Madrasyah Tsanawiyah malu dengan almamater yang kalian pakai."
" Teman-teman, itu yang ngomong calon usatad, yang akan sekolah di Pondok Kampung Damai," celetuk Taufik. Fadhlan hanya membalas dengan senyum mungilnya sambil memberikan salam " assalamualaikum teman, ane pulang dulu" pungkas Fadhlan membalas ucapan Taufik dengan dingin.
Langkah geliak kakinya mengambarkan apa yang tergores dalam hatinya, walau ia membalas dengan dingin, kesal bercampur malu tersembunyi dalam wajah, kesal oleh mulut Taufik yang berbusa, dan malu karena kenyataan ia belum sekolah dan menipis keyakinan teman-teman pada dirinya, dengan tidak bisa membuktikan ceritanya yang akan sekolah jauh di ujung pulau jawa ternama itu, "lebih baik tadi aku diam saja"ngerotos kesal sendiri seirama menuju kerumah. Lenggok kaki bersamaan ayunan tangan mendekati loneng tempat duduk berada di gerbang rumah, lepas dari pandangan ia melihat mobil hitam kijang grand, melintang parkir di depan rumahnya, hingga terhalang pandang mata keseluruh ruang tamu. rasa ingin tau apa yang ada dibalik diding rumah dan siapa yang membawa mobil hitam kijang grand itu, selayang pandang ternyata mamak Bandaro yang pulang dari Jakarta balik beradu nasib di Jakarta sejak 1960, terasa baru berjumpa dengan beliau, sewaktu helat kaum malayu di rumah gadang satu bulan lalu.Tidak di sangka bersamaan dengan langkah kaki untuk masuk ke dalam rumah, terdengar dekat depan pagar rumah sebuah klakson mobil Panter,terlihat sosok papa turun sambil menenteng bag besar berwarna coklat dan dua kantong kresek putih, papa yang baru saja selesai mengerjakan pekerjaan dari luar kota.raut wajah gelisah berubah menjadi cerah secerah sore itu, cerah karena papa baru pulang membawa sebuah bingkisan untuknya, atau cerah karena tak sabar lagi mendengarkan keputusan yang lama tergantung. sembari papa berjalan, Fadhlan mendekap berlari menyampiri papa untuk menyalami dan menolong membawakan kantong kresek putih yang ada di sebelah kanan tangan papa. mereka bersamaan melangkah masuk ke rumah. Mamak Bandaro  dengan mintuo dan mama menyambut ke datangan mereka berdua, Fadhlanpun tergesah-gesah meletakan kresek yang ia bawa, lalu ia menyalimi mamak Bandaro dengan mintuo Laila, sedangkan papa, segera duduk disebelah mama tersender lelah di kursi tamu, perbincangan demi tanya dan jawabanpun mereka mulai satu kalimat hingga beberapa kalimat. Fadhlan berdiri disela-sela almari yang menjadi batas ruang tamu dan ruang keluarga, ia menguping pembicaraan mamak, papa, mintuo dan mama yang membicarakan seputar pendidikan dan adat istiadat masyarakat. sampai aliran pertanyaan mengalir kepadanya. parit aliran itu tak ada hambat untuk ia jawab, karena pertanyaan itu sudah lama ia jawab sewaktu papa menanyakan tentang kemana ia akan melanjutkan pendidikannya. sebuah pertanyaan itu kembali berhulu dari mamak Bandaro
" Fadhlan ingin sekolah kemana ?"
" Ke Pondodk kampung damai di Ponorogo mamak!" tegas Fadhlan
mamak Bandaro memberi gambaran dan penjelasan panjang-lebar tentang disiplin sekolah yang begitu ketat dan keras dalam mendidik,bahkan dengan hukumannya , anak-anak yang pernah sekolah di Pondok Kampung damai banyak yang tidak tahan dengan kehidupannya, dalam kesaharian tidak bisa seperti burung terbang di angkasa, di kala tidur tidak bisa nyenyak dan pulas seprti dirumah, persis dalam sebuah penjara, yang mempunyai kasur tipis tidak beralaskan dipan dalam satu kamar berpuluh santri yang menempatinya, dan jarak yang sangat jauh, mungkin kamu bisa pulang kampung satu kali dalam satu tahun, waktu yang sangat lama untuk berpisah,  Fadhlan hanya diam dan menganggukkan kepala atas bawah, dengan tetap berpendirian untuk sekolah disana.ia tidak mau malu kepada teman dan takut menjadi bahan keatawa mereka, karena tidak bisa membuktikan ukiran cerita-cerita tentang Pondok Kampung Damai, dan terlebih penting ia bisa lepas dari jeritan-jeritan malam dan duri-duri rona merah keras dalam keluarga yang dilakoni papanya.itulah pondasi membuat Fadhlan kuat, tidak bisa rebah dan terhalau badai penjelasan-penjelasan itu, sebenarnya mamak bukan memberi kabar petakut untuknya, hanya saja ingin tahu bagaimana tekad dan teguh pendiriannya untuk sekolah ke Pondok Kampung Damai.Seiring penjelasan itu papa dan mama memberitakan keputusan mereka, bahwa Fadhlan akan menuntut ilmu di Pondok Kampung Damai dengan tidak ada keraguan, kesimpulan Fadhlan boleh bersekolah kesana.
Mamak Bandaro dengan mintuo Laila beranjak dari rumahnya untuk pulang ke dangau mereka yang berada di dekat masjid jami' Palangki.Sekarang hanya tinggal perencanaan untuk persiapan keberangkatan, papa dan mama tidak bisa mengatarkan ia ke Pondok Kampung Damai, di karenakan terbatasnya waktu oleh tugas pekerjaan, mama sibuk di sekolah menjadi guru SD, juga mengurus adik bungsu bontot Habib dan si tengah Amri yang baru masuk sekolah dasar. Papa sibuk mencari orang terdekat untuk mengantarkanya ke pulau Jawa baik dari dunsanak papa samapai dunsanak mama, sulit untuk siapa yang di percayakan, semuanya hampir menolak, dengan berbagai macam alasan, ada yang berkata belum pernah ke jawa, dan ada yang sibuk dengan kerja, pikir-pikir dahulu dan sebagainya.
 Sehari sudah pencarian siapa yang mau untuk mengantarkanya. Adzan magrib setia berkumandang kala senja datang, tidak satu orang yang datang untuk siap mengantarkan Fadhlan, jawaban ini sangat membuat Fadhlan menghampiri keputusasaan, tidak ada yang mulus seperti keinginan yang timbul dalam dirinya. Malampun larut dengan heningnya, hingga isya berlalu, papa dan mama berdikusi diruang tamu, Fadhlan terbaring di ruang keluarga sambil menonton program televisi, namun pemikiran dan pendengaran fokus pada pembicaran kedua orangtuanya, hanya mata saja mengarah ke layar yang mengeluarkan gambar bergerak, bersuara dan berwarna. Jarum jam telah menunjuk ke arah 21.30.Wib, tiba-tiba suara motor terdengar di depan rumah, terasa suara motor ini tidak asing baginya, suara motorpun diam, hanya sebuah langkah kakilah terselip di telinga mengarah ke depan pintu rumah, dan menjelma menjadi seorang laki-laki tegap penuh guyon yaitu mak etek Sulaiman.
" Assalamualaikum, bagaimana, sudah ada orang yang ingin mengantarkan Fadhlan "tanya mak etek melangkah mendekati mama dan papa di kursi tamu
" Walaikumussalam, belum mak etek" balas  papa dan mama serentak
" Ambo saja yang mengantari Fadhlan ke Jawa untuk masuk sekolah Pondok kampung Damai itu, tapi ambo bisa mengantar seminggu mentoknya, ada urusan penting yang lain. ambo ingin sekali jalan-jalan kejawa tapi ambo belum pernah kesana, bagaimana? " terang mak etek Sulaiman.
"Ya, bagus mak etek ada jeda dua hari untuk pendaftaran dan menemaninya disana"
"Jadi hari Jum'at kami berangkat"
Mendengar pembicaraan itu, Fadhlan terbangun dari pembaringan, menuju ke ruang tamu, papa dan mama tersenyum melihat ia berlari menuju ke arah mereka. ia senang kegirangan mendengar berita itu,karena mak etek lah yang bisa mengantarkannya, walau hanya sebentar saja.sunyi malam pun terisi dengan harapan pasti untuk berangkat dan bersekolah di pulau yang belum ia telapaki, entah bagaimana warna tanah dan betuk perpohonannya,


Lereng Capo Pusara Nyiek Romai


Bukan seperti sekarang, Palangkahan dahulunya, bukan seperti sekarang, Muaro Laweh dahulunya”Itulah Ungkapan yang tersirat sewaktu almarhum kakek Dt. Penghulu Besar dalam hikayah nagari kembar. Dahulu hampir semua orang yang diluar dua kenagarian ini, segan dan menghormati masyarakat di kenagarian itu. Karena kepandaian dan kepintaran pendahulunya terhadap pengaruh peradaban-peradaban, baik dari segi Pendidikan, Politik dan Ekonomi. Secara letak kenagarian itu berseberangan yang di pisahkan oleh sungai. Dan sungai itu menjadi fakta Tambo untuk kedua nagari tersebut. Sungai batang palangki yang bermakna Pelangkahan nenek moyang dulunya. Menurut adatnya kata almarhum kakek “ Seadat sepusaka , sebungkus seperti nasi, sekerucut seperti gulai, seibat seperti sambal”. Bersatu dalam satu raga. Jika terusik satu, yang satunya merasa terusik juga. Kedua nagari itu jauh dari pembangunan dan kemajuan, namun, berbeda dengan sekarang lebih jauh berkembang dari dahulunya. Sebab kedua nagari menjadi pelintasan darat kepulauan Sumatera,dari aceh sampai lampung hinga pulau jawa sekali, mungkin mereka telah menapaki kakinya di kenagarian itu. Bahkan sebuah temapat pemberentian atau peristirahatan para musafir-musafir dalam rangka melepas lelah, seiring panggilan untuk bermunajad pada sang pencipta. Masjid Jamiklah tempat temu janji pada pemilik jiwa ini. Masjid yang sangat luas halamanya dan taman, berdiri kokoh diatas ranah kenagarian itu. Faktanya kedua nagari itu selalu  menunaikan salat lima waktu disana, bersama hal itu juga masyarakat sangat bangga dikala mereka mengabari dari mana asal dan kampung mereka. Dan masjid Jamiklah Ikon kenagarian tepi lintas Sumatera.  Disanalah aku terpancak dan disitu juga hingga dewasa.***Siang ini, sungguh masjid Jamik penuh sesak. Terlihat rapat saf-bersaf dalam bentuk rombongan, memangkul di pundak mereka  sebuah keranda bercorak ukiran besi, berbalut kain beludru hitam yang bertulisan “Lailaha illallah”. Akupun ikut menyelinap masuk dalam saf-saf rombongan itu. Setiap langkah demi langkah kaki, gema tahlil berkumandang. Mulutku terbawa arus gema tahlil, bak aliran sungai yang menurun, secepat itu langkah kaki melangkah, sekeras itu pula tahlil berkumandang.Sejenak hatiku bertanya-tanya, akan dibawa kemana bungkusan putih dalam keranda itu?.Ah, itu akan terjawab jika aku ikuti rombongan ini. Berangsur menjauh dari pekarangan masjid Jamik, belok ke samping, lurus dan mendaki. Orang-orang berganti-gantian, bahkan ada yang bersikeras untuk memikulnya, terjadi perebutan antar masyarakat,  perhatianku fokus pada apa yang terjadi dengan keranda. “ Sebuah nilai gotoroyong yang tidak akan pernah pudar dalam adat nagari ini”, celetuk seorang lelaki yang telah memakan waktu hidup lebih separuh abad. Segera lererengkan penglihatanku sedikit ke atas, terlihat uban-uban tumbuh subur dikepalanya, keriput menjala hampir diwajahnya. Aku tersintak, mengapa beliau bisa menterjemahkan apa yang terbesir dalam pikirkanku. Kembali tatapan kuluruskan ke arah rombongan pembawa keranda. Ah, aku pura-pura tidak menghiraukan celetuk lelaki itu, sembari melihat tanjakan sangatlah tinggi dan berjurang, dibawah jurang berjejeran kotak-kotak hijau berjenjang, dan dikelilingi anak sungai nan jernih, sungguh suatu pemandangan asri tapi melelahkan. Langkah kakiku bergesar sedikit ke Barat, mendekati deretan pohon Palam yang rindang untuk terlindung dari panas terik matahari dan seraya untuk menjauhi lelaki itu,sebaliknya ia malah semakin mendekatiku. Harapaku ia mungkin ingin berjalan diketeduhan deretan pohon ini, sama halnya denganku, apalagi ia sudah rentan di makan zaman.Seiring berjalan berdekatan denganya, aku awali percakapan singkat  dengan  satu pertanyaan.“Siapakah gerangan yang terbalut kain putih dalam keranda itu. Dugaku hal ini tidak pernah terjadi,hampir kedua masyarakat nagari ikut belasungkawa, merasa sedih untuk ditinggalkan, apalagi yang terlihat pada rombongan depan, rebut-rebutan untuk memikul keranda itu?”. Seraya tatapan mataku menyoroti rombangan dari depan hingga kebelakang.“ Tidaklah kau tahu, bahwa yang kau antar ini adalah seorang Pangulu, orang tua di nagari, tidak lain dan tidak bukan beliau Ayam seekor dua tali”, jawabnya dengan kata menurun.Keningku langsung mengerut, selaksa ada yang tidak aku pahami pada kalimat terakhir ayam seekor dua tali. Aku coba menafsirkannya sendiri, apalah daya aku baru lulus Madrasah Aliyah. Kalimat itu bukan hal yang sepele, bukan sebuah rumus simetri dan juga bukan pasal-pasal pelajaran Tatanegara menurut Aristoteles.“Aku baru berumur seumur jagung, dengan rendah hati, apa makna dari seonggok kalimat terakhir tadi?”. Tanyaku menatap ia tajam untuk merenggut suatu jawaban.“ Sembunyikan mata kau dari pandangan seperti itu,apabila di dalam harimau, namun yang keluar kucing jua”. Ia terasa terusik, lalu aku lorohkan tatapanku walau agak sayu, karena aku sangat mafhum kata-kata itu.“Ayam seekor dua tali maksudmu? itu adalah pada satu orang mempunyai dua jabatan” jelasnya“Ya, pastilah beliau orang cerdik, pandai bermartabat, dan juga orang sakti !”“Ssst!..jangan keras-keras, cukup hentikan perkataan itu lagi”, sambil cilingak-cilingok melihati orang disekitarnya, lelaki hampir se-abad itu terlihat cemas.Aku melemaskan langkahku, Spontan tubuhku menggigil, seperti orang yang belum makan sehari, tambah ia berbisik ke telinggaku lembut, tetapi mencekam, bulu romaku berdiri, darah membeku. Layak sebuah sugesti mistis membalut dalam satu bisikan “kualat kau buyung !”.  Pendakian kian menanjak, orang-orang masih saja kuat memikul keranda, tanpak bugar dan bersemangat, padahal keringat bercucuran bak mandi air hujan. Yakinku, ini adalah sebuah heroisme bentuk pengabdian rakyat kepada pemimpinnya, hingga akhir hayat. Salutku bertepuk dalam jiwa yang merongrong. Pastilah banyak macam dugaan dan prasangka kepada penghuni keranda itu., “allahu’alam bisawaf” ucapku. Sang pemilik jiwa ini mengetahui apa yang mereka ciptakan, apa yang mereka surukkan, dan apa yang mereka inginkan.***Tiba-tiba rombangan berhenti, sentakku ada apa yang membuat mereka berhenti, lalu  hilang dari pandanganku, kemana mereka dan keranda itu? tidak terlihat di atas pundak mereka, alangkah herannya, kemana lelaki yang hampir menginjak se-abad. Berlahan-lahan kutatapi tempat ini, kupahami sisi demi isinya. Rupanya sekelilingku banyak gundukan berupa bongkahan tanah berwarna merah. Aneh sekali gundukan itu, simetrinya lebih panjang dan besar untuk manusia sekarang. Dari ujung keujung bertengger batu bulat lonjong, lebih tepatnya ini sebuah pusara, tafsirku. Hal yang tidak logika, sama sekali diluar kuasaku, apa ini sebuah imajinasi terlalu tinggi. Kakiku terasa mulai gemetar, tulang terasa mengilu, hawa sangat dingin, pori-poriku melebar, bulu roma kembali berdiri. kakiku Kaku untuk bergerak, berat untuk dibawa berjalan. Berangsur kakiku menginjaki kayu sabiran nan rapuh, aku ambil kayu, sebagai penopang badan lunglai lagi misteri, tanganku menggenggam tulisan Arab Melayu yang ada pada kayu sabiran itu, aku eja satu huruf yang tak jelas bentuknya, alif atau huruf lam, penting aku bisa menyatukan uruf Arab Melayu itu dalam kalimatnya yaitu “ Lereng Capo”. Tanyaku dan bertanya lagi, semuanya asing dalam kata-kataku. “Mungkin sebuah konsep yang menterjemahkan tempat ini” desir dalam pikiranku. Tempat sempit sedapa, yang melereng di bukit dan sedikit ada jurang.Aku sandarkan punggungku, di bawah pohon Palam guna mengambil istirahat. “Keanehan tanpa jeda keisterisan ini selalu menyelimuti daku wahai Tuhan” gerutuku memandangi sungai dan sawah yang ada di bawah sana. Keanehan ini sedikit terobati melihat sungai nan sangatlah cernih, beda tipis dengan kejernihan kaca, begitu juga dengan onggokan sawah yang menghijau menyejukan mata. Sejatinya itu yang menemaniku menghadapi kesunyian misteri ini. Lamunku  menjelma hingga mencekam buta, sungai jernih keruh sekeruh-keruhnya, seperti di landa banjir besar, kulihat ke mudik hingga ke hulu, deras menurun kuning pekat. Semenit aku tersandar berubah semua apakah ini the end of story, akhir sebuah sejarah. Kuberdiri terperanga pundakku terasa berat dan membantingkan badanku terlempar di atas gundukan tanah merah itu, untung aku bisa mengelak dari benturan mara petaka, dari deras air menumbuk tiap dinding tanah, meremukkan lereng tebing itu, sawah menjadi gundukan tanah gersang, warna hijau lenyap tak berkata. “bruuurrr” . Badandku, aku sempurnakan kembali, kubalikan badanku ke arah belakang dudukku, tak kusanggka lelaki lebih separuh abad itu kembali muncul, “ dimana aku ini apa aku masih dalam dunia nyata, sungguh keluar dari kelaziman? Jika benar kembalikan ketidak mustahilan ini!”, resah dan harapku pada lelaki itu.“Tidaklah kau tahu, bahwa jiwamu berada dalam pusara Nyiek Romai, sekitarku ada barisan pemimpin. Sebaliknya, disekitarmu ada deretan pembangkang. Apa yang terlihat itu adalah irasionalmu, yang akan menjadi sebuah pelajaran pada ranah ini, dan suatu gambaran, kelak kau akan mengetahui semuanya”, sambil jari telunjuknya menyoroti sketsa peristiwa-peristiwa itu. Yang terlihat sketsa dunia terusik oleh ingar bingar keserakahan manusia, pemimpin bukan lagi memimpin, masyarakat berpacu ingin menjadi ekspatriat, bahkan segolongan masyarakat menghambakan diri untuk menjadi aristokrat. Layaknya orang bisa membeli orang secara fisik seperti budak, tetapi bisa membeli secara mental, karena bisa memperbudak pikiran masyarakat hanya melalui kekayaan dan kekuasaan. Itulah dampak sebuah efek mentuhankan uang dan kekusaan. “Apakah ini yang disebut orang menafkahi kesengsaraan dan penderitaan, lalat yang hidup dari hasil korupsi. Inilah tipe manusia yang paling rendah dan menjijikan” tafsirku dalam hati, kemudian lelaki itu memukul lembut pundakku dan berbisik kembali dengan hawa kalimat yang sangat hangat bergema dikupingku “hanyya ‘alasholah!, dirikan salatmu!” sembari mataku tertutup, gelap berkilat seperti petir dalam melewati sebuah lorong waktu.***Ternyata aku dalam dimensi berbeda, sebuah perjalanan buah tidur panjang walau hanya dalam waktu semalam. Tepat aku terbangun pada malam sunyi senyap, yang tertidur dalam surau habis isya, dekat bilik kamar garin angku Lebay, beliaulah yang membangunkanku untuk salat subuh, sama halnya seruan dalam buah tidurku. Jemaah akan berdatangan untuk melaksankan ibadah subuh. Lalu aku segera berwudu’ untuk melaksanakan salat sunah, berdoa minta ampunan dan petunjuk dari buah tidurku “ Wahai sang penguasa jagat raya ini, pemilik jiwa-jiwa berlumuran dosa ini, Engkau yang maha agung, lindungi kami dari fitnah dunia dan fitnah kubur, tempatkan pendahulu-pendahulu kami disisiMu, dan jauhkan kampung kami dari mara petaka dari tangan jahil-jahil kami, berikan kami baldatun toibatun wa robunkhofuur, perkenankan ya Robbi!. Itulah kandungan di sela doaku.Tercatat dalam sejarah masyarakat, bahwa pusara Nyiek Romai Sampai sekarang menjadi mitos yang melekat , namun arek-arek lungga atau percaya tidak percaya. Kononnya, jika terjadi musibah melanda negeri itu, sebelumnya, pusara Nyiek Romai memberi sebuah tanda yaitu keluarnya asap dan api dari pusaranya yang terletak diatas perkampungan masyarakat yakni Lereng Capo. Begitu juga dengan adat istiadat nagari, jika keluar dari alur dan patutnya sesuai dengan adat kawi.Sebenarnya aku tidak percaya dengan tafsir mimpi. Sewaktu setelah salat subuh, aku berinisiatif untuk berjalan sendiri menuju tempat pusara itu, setiba disana, batu nisan besar bulat lonjong lari dari tempatnya, dan pusara itu retak separti bongkahan yang berlubang. Aku membalikkan badan mengambil langkah seribu, aku tak ingin menjadi saksi ghaib ini. Kemudian, pada waktu duha semua masyarakat berhamburan ke Lereng Capo melihat pusara Nyiek Romai, berita itu di kabari ke seluruh sudut nagari.
Penulis : Fadhlur Rahaman AhsasKarya   : NaskahTanggal: 21 Juni 2013Profil    : Pustakawan YMBI Al- Mukhlisin Jakarta Barat, dan Jurnalis Sumbaronline.com  





Tidak ada komentar:

Posting Komentar