Senin, 31 Agustus 2015

TRAGEDI LANSEK MANIH




FRA
Tragedi Lansek Manih bermula dengan kekhawatiran masyarakat dengan kultur budaya dan perkembangan pembangunan di ranah Lansek Manih yang sangat miris dengan kemunduran dan keterbelakangan. Bukan saja dari aspek itu, bahkan aspek kepemimpin tidak bisa membela rakyat dan anggotanya dari curamnya jurang dan derasnya gelombang hingga hari ini banyak korban dari kesalahan dan kebodohan kita semua.

Kemudian penulis mencoba menalaah rekam jejak dari masa kemasa perjalanan ranah ini, hingga penafsiran lagu minang era tahun 50-an yang diciptaan Nuskan Syarif lalu dipopulerkan oleh Elly Kasim, yang sering didendangkan banyak penyanyi asal Sumatera Barat. Lagu tersebut awalnya menceritakan kelokkan suatu daerah di Minangkabau yang teradministrasi sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat yakni Kabupaten Sijunjung, sebelum pemekaran bernama Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung.

Lagu tersebut hingga saat ini masih terdengar indah dilantunkan, sampai menjadi ringtone favorit oleh masyarakat Sijunjung di telpon genggamnya. Bila dimaknai, memang lagu tersebut menggambarkan Kabupaten Sijunjung dengan ikon daerahnya buah lansek sejenis duku. Hingga lagu tersebut menjadi pameo bahwa Sijunjung kaya akan lansek dan atau lanseknya memang terkenal manis sehingga dijuluki Ranah Lansek Manih.

Sebagian anggapan dan pertanyaan yang jelas, yang sempat dipertanyakan khalayak ramai. Bahwa Sijunjung lansek manih, namun jangankan manisnya buah lansek, menemuinya saja sangat sulit di Kabupaten Sijunjung sendiri. Meskipun masih banyak lahan-hutannya, saya sempat terpikir juga, " kok ga ada ditemukan pohon lanseknya ya" dikutip dari blogspot De Journal Nimiasasti yang berjudul Sehari di Nagari Lansek Manih.

Begitupun di media cetak menuliskan pertanyaan tentang hal yang sama, beberapa pertanyaan dan dugaan yang muncul dari buah lansek.  “Apakah Kabupaten Sijun­jung dina­mai Ranah Lansek Manih karena buah lansek nan manis tersebut begitu banyak di Kabu­paten Si­junjung. Atau hanya sebuah legenda yang mengisyaratkan dan meng­gambarkan bahwa, dulu per­nah ada kejadian yang membuat lansek menjadi terkenal hingga dijadikan ikon daerah Kabupaten Sijunjung” Red: Haluan 20/2/13

Sugesti Negatif

Nah, inilah asas penulis menjadikan tulisan ini dengan judul Tagedi Lansek Manih, sebab dari semua rekam jejak atas nama lansek manih selalu menjadi pertanyaan dan mempersoalkan nama dan lagu tersebut. Alhasil lagu Lansek Manih yang sekarang menjadi kebanggaan orang nomor satu di Kabupaten Sijunjung telah menjadi polemik. Kenapa? Banyak alasan untuk membuat kita mempersoallakan lirik dari lagu itu. Diatas sangat jelas apa yang dipersoaallakan oleh masyarakat Sijunjung sendiri.

Sugesti negatif pun lahir dari pemikiran masyarakat kabupaten Sijunjung dengan lirik lagu lansek manih tersebut. Bahwa didalamnya terdapat makna sebuah kemunduran pemikiran yang amat terkebelakang, sehingga keberdaan Sijunjung yang sarat dengan kehancuranpun tergambar pada tafsiran lagu Lansek Manih itu.

Mari kita renungkan satu persatu dari lirik yang melahirkan Sugesti negarif itu.
Pertama : Den etong sado nan masak, nan busuak tingga di ambo, Den etong lansek nan masak, nan busuak tingga di ambo.
Lirik pertama ini saya menafsirkan pada penafsiran yang membawa masyarakat dalam kelemahan perjuangan pada pembangunan ekonomi dan kultur budaya. Kenapa ? dari lirik ini mengartikan “saya hitung seluruh yang masak yang busuk tinggal sama saya” dari rekam sejarah bahwa yang selama ini memimpin Sijunjung bukan putra daerah, hbingga terbesit dari masyarakat, apapun hebatnya putra daerah dalam memperjuangkan nagari demi cinta nagari, dan seberapa hebat putra daerah dalam membangun ekonomi nagari tetap untuk meraka yang telah menjaual negeri kita.

Kedua  : Nan ampek dibalah ampek, nan limo bilangan jari, Iko bukan sumbarang lansek, Sijunjuang lanseknyo manih
Yang kedua  menafsirkan bahwa, masyarakat terperana dengan kata manisnya, hingga yang pahit berubah manis atau yang manis itu tidak akan pernah ada. Mungkin saja lirik ini mengartikan sebuah politikalisasi supaya masyarakat Sijunjung tetap tersenyum walau kepunahan itu, tidak berani mengatakan yang benar walaupun itu pahit, hingga kesalahan semakin manis terasa.

Ketiga : “Iko tukuak, iko tambah, paragiahnyo perai sajo”
Akhirnya masyarakat Sijunjung dari masa kemasa, tidak bisa membangun dan mengembangkan apa yang ada, bahkan kelihatan rekam jejak masyarakat dengan nagari yang penuh dililit hutang karena ada kata “Iko tukuak dan Iko tambah” yang memberi sugesti negative terhadap karakter orang orang Sijunjung yang tidak mempunyai kreatifitas, keinginan untuk berjuang, bahkan penulis menafsirkan ingin enaknya saja. Pada arti “paragiahnyo perai sajo”

Sementara itu, kita hanya asik dan bangga, kala lirik ini mempunyai kontradiksi terhadap Sijunjung masa depan, sebab dalam lirik ini mempunyai seribu tafsiran Sugesti Negatif yang akan berakibat pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan penulis disini nak memberikan kabar untuk kita semua,bahwa lirik lagu yang membawa kabar perisa atas mundurnya karakter dan kulutur masyarakat dalam membangun kemandirian dan keyajayaan, Penulis acap kali menemukan bahwa masyarakat tidak berani dalam bertindak, dan takut untuk berbicara benar, bah semakin menahun, malah semakin tiada bak kata yang diucapkan dalam air, mengembul iya terdengar tidak.

Demikianlah, Tragedi antar buah yang manis dan yang pahit, menjadi pembelajaran dan senantiasa dalam memberiakan kepedulian terhadap perjuangan ranah Sijunjung ini lebih jaya dan sejahtera. Sebelumnya ada sebuah pesan yang berbunyi "say the truth even if it may be bitter", begitulah bunyi pesan sakral yang tersirat dari makna kalimat itu yang pernah disampaikan Rasulullah Muhammad Saw. Pesan tersebut barangkali bisa dikaitkan dengan permasalahan yang terjadi di negeri ini yang melibatkan para pemimpin di negeri ini. namun juga berlaku bagi semua manusia tanpa terkecuali. Insyallah, Allah meneguhkan kita selalu di atas kebenaran dan diberi taufik berkata yang benar walau itu pahit. Hanya Allah yang memberi taufik.