Zulhendri Hasan, SH. MH |
Disusun Oleh
(SYF Dt. Panji Alam "Tj Ampalu")
(SYF Dt. Panji Alam "Tj Ampalu")
“Kalau SDM suatu daerah sudah kuat
dan kualifaid, maka seberat apapun tantangan pembangunan yang dihadapi diyakini
akan bisa dicarikan jalan pemecahan yang terbaik.”
ZULHENDRI Hasan SH MH,
pengacara terkemuka di Jakarta asal Kabupaten Sijunjung, menilai kepemimpinan Kabupaten
Sijunjung ke depan harus diisi oleh sosok dengan jiwa leadership yang kuat, selain juga menuntut lahirnya sosok pemimpin
yang punya relationship yang luas
dengan berbagai kalangan.
“Kalau hanya mengandalkan pemimpin konvensional, yang hubungannya hanya
sebatas camat dan kepala dinas, saya cemas kondisi Sijunjung tidak akan banyak
mengalami perubahan,” kata Zulhendri yang juga Wakil Ketua Bidang HAM DPP
Partai Golkar. “Sebagai anak muda
Sijunjung, saya juga punya tanggung jawab moral untuk memberikan sumbangan
pemikiran buat kampung halaman,” katanya.
“Imposible membangun daerah
dengan hanya mengandalkan dana APBD,” katanya. Kendati pun ditopang oleh dana
APBD provinsi dan APBN, Zulhendri menilai tetap belum cukup karena begitu
banyaknya kebutuhan daerah dan masyarakat. “Makanya, perlu pemimpin yang dengan
kepemimpinannya melahirkan energi yang besar merangkul semua pihak untuk
kepentingan daerah,” katanya.
Dijelaskan, bagi pemimpin yang visioner ia akan mampu melihat dan
mempetakan potensi daerah yang dipimpinnya, lalu dijajakan ke dunia luar yang
berimbas dengan masuknya investasi. “Tapi bukan investasi icak-icak seperti yang sering kita saksikan belakangan ini,”
katanya. “Investasi yang seperti ini hanya merugikan daerah dan masyarakat.
Disebut icak-icak, kata
Zulhendri, lantaran visi dan hubungan kepala daerah dengan dunia luar sangat
terbatas, maka begitu melihat orang berdasi yang mungkin saja dengan mobil
sewaan dengan mengaku sebagai investor, lalu tanah ulayat berpidah tangan begitu
saja lantaran digadaikan si investor icak-icak
itu ke lembaga perbankan. “Dalam konteks ini,
sangat diperlukan sosok kepala daerah yang punya hubungan yang luas ke
dunia luar,” sebutnya.
Sebab, menurut Zulhendri, kalau seorang kepala daerah tidak memiliki hubungan yang luas dengan dunia
luar, dan kendati memiliki kemampuan lobi, tapi hanya tipe lobi-lobi kampungan
yang sarat dengan muatan sogok-mogok, “Saya memastikan masyarakat jangan
terlalu berharap dari figur seperti itu akan mampu membawa perubahan yang
berarti bagi kepentingan daerah bersangkutan,” katanya.
Yang terpenting lagi, sambung Zulhendri, sosok yang memimpin Sijunjung
adalah dari kalangan figur yang memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk
membangun kampung halamannya, yang mengerahkan segenap daya dan kemampuannya
untuk perbaikan Sijunjung. “Sijunjung jangan lagi sampai dipimpin oleh sosok
figur yang asyik-masyuk dengan urusan
untuk memenuhi hasrat pribadi dan kelompoknya,” kata Zulhendri.
“Terus terang, secara pribadi saya kurang berempati terhadap
mereka-mereka yang kini memegang peranan
penting di Sijunjung,” sambung Zulhendri. Bukan dilatarbelakangi oleh interest
pribadi, tapi lebih disebabkan oleh ketidakpedulian para pengambil kebijakan di
Sijunjung itu untuk upaya-upaya pembaharuan dan perubahan yang ditawarkan oleh
Zulhendri dan orang-orang yang sevisi dengannya.
“Sekali lagi, saya tak punya interest pribadi untuk menawarkan yang
terbaik bagi Sijunjung,” katanya. “Sebagai putera daerah, saya memiliki
tanggung jawab moral untuk itu.” Zulhendri malah mengatakan, di segi
materi-finansial ia sudah merasa lebih dari cukup dengan menjalani karier di
rantau orang. “Tapi sebagai putera Sijunjung, saya juga ingin berbuat,”
katanya.
Gagal
Pada bagian lain Zulhendri menilai, Kabupaten Sijunjung yang saat ini
dipimpin oleh Bupati Yuswir Arifin gagal karena tidak mampu melakukan
kaderisasi. “Dalam konteks kaderisasi dan regenerasi, yang kita lihat saat ini
adalah stagnasi,” katanya.
Menurut Zulhendri yang menjabat Sebagai Wakil Ketua Bidang HAM DPP Partai
Golkar itu, salah satu parameter yang bisa dipakai untuk menilai seorang
pemimpin sukses atau gagal adalah sejauh mana sang pemimpin itu mampu melakukan
kaderisasi sehingga kelak ketika masa jabatan si pemimpin itu habis, tidak terjadi
apa yang disebut dengan krisis kepemimpinan.
“Dalam pandangan saya, parameter dominan yang dipakai untuk menilai
seorang pemimpin itu berhasil atau gagal, ya, pada faktor yang disebutkan tadi,
yaitu seberapa banyak sang pemimpin di masa kepemimpinannya mampu mencetak
kader-kader pemimpin baru, yang kelak diharapkan sebagai penyambung tongkat
estafet kepempinan,” tandasnya.
Perspektif lain seperti pembangunan infrastruktur, ekonomi,
sosial-budaya, dan lainnya, menurut Zulhendri, merupakan faktor pelengkap dari
proses kaderisasi yang identik dengan pembangunan SDM (sumber daya manusia).
“Kalau SDM suatu daerah sudah kuat dan kualifaid, maka seberat apapun tantangan
pembangunan yang dihadapi diyakini akan bisa dicarikan jalan pemecahan yang
terbaik,” tambahnya.